Lonely Marriage atau kesepian dalam pernikahan masih terasa tabu untuk dibicarakan, setidaknya bagi saya pribadi. Mungkin tidak banyak orang yang mau mengakuinya, apalagi membahasnya secara terbuka.
FenomenaSebagian dari kita menganggap pernikahan sebagai jawaban atas rasa sepi yang kita alami saat melajang. Harapannya, dengan kehadiran pasangan hidup, kita bisa berbagi segalanya, menepis kesepian, dan memiliki teman berbagi setiap saat.
Nyatanya, setelah menikah, ada saja pasangan yang justru merasa sendiri alias kesepian, padahal hidup bersama di bawah atap yang sama. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?
Menurut saya, kesepian yang dirasakan dalam pernikahan ini bukan kesepian dalam arti sebenarnya. Ini lebih merupakan rasa jenuh, sebuah kejenuhan yang sering muncul karena perubahan cara berpikir kita terhadap sebuah pernikahan itu sendiri.
Pernikahan kadang membuat kita berpikir bahwa kita harus mencurahkan seluruh hidup kita untuk pasangan, meninggalkan kehidupan pribadi yang kita miliki sebelumnya. Di sinilah masalahnya.
Banyak dari kita yang akhirnya meninggalkan hobi, pertemanan, atau aktivitas yang dulu kita nikmati sebelum menikah, dengan anggapan bahwa itu semua tidak lagi perlu. Kita mungkin merasa bahwa kini, sebagai pasangan suami-istri, semua waktu harus diberikan kepada pasangan atau keluarga.
Namun, cara berpikir seperti ini justru kurang tepat. Dengan menanggalkan kehidupan pribadi sepenuhnya, kita sebenarnya sedang mengurangi sisi diri kita yang dulu membuat kita bahagia dan merasa lebih hidup.
Penting untuk dipahami bahwa menikah tidak berarti kita harus melepas pribadi atau hal-hal yang kita sukai sebelum menikah. Aktivitas seperti hobi, nongkrong bersama teman, atau bergabung dengan komunitas tertentu sebenarnya bisa menjaga keseimbangan diri.
Dengan tetap menjalani aktivitas-aktivitas ini, kita bisa menjaga kebahagiaan diri sendiri, yang pada akhirnya akan memberi energi positif untuk kehidupan rumah tangga.
Sebenarnya rasa jenuh itu bisa diatasi jika kita dan pasangan sama-sama saling mendukung untuk tetap memiliki kehidupan pribadi masing-masing.
Kehidupan pribadi ini bukan bentuk pelarian atau menghindar dari hubungan, tapi justru cara untuk menyegarkan diri, memberikan waktu untuk diri sendiri, dan kembali ke rumah dengan perspektif dan energi baru yang bisa memperkaya hubungan.