kepada para pengusaha rumah makan: apa susahnya, sih, mengaduk es teh terlebih dahulu sebelum disajikan?
Bagi sebagian besar orang Indonesia, es teh adalah minuman harian yang hampir tak tergantikan. Tidak peduli di warteg, angkringan, atau restoran, minuman satu ini selalu menemani sepiring nasi dan lauk pauknya.
Namun, ada satu hal yang selalu membuat saya sedikit dongkol setiap kali memesan es teh di rumah makan. Entah kenapa, para penyaji sering kali menyajikan es teh dalam kondisi gula masih numpuk didasar gelas, tidak diaduk terlebih dahulu!
Alih-alih menyajikan es teh yang siap sruput, mereka seperti memberi tugas tambahan untuk mengaduk sendiri es teh yang sudah penuh dengan es batu. Dan di sinilah masalah itu dimulai.
Sebenarnya, sederhana saja logikanya. Saat menyajikan es teh, air teh biasanya relatif masih hangat sebelum akhirnya ditambahkan es batu. Pada tahap inilah, seharusnya gula diaduk terlebih dahulu sebelum disajikan.
Rasa manis yang saya harapkan tak pernah benar-benar terasa merata. Momen menikmati es teh segar berubah menjadi perjuangan mencari sedikit manis diselah-selah es batu. Kalau sudah begini, kadang saya lebih memilih untuk menyeruputnya dengan apa adanya, meski tetap terasa kurang manis.
Mungkin, bagi sebagian orang, ini sepele-sekadar masalah es teh. Tapi, coba bayangkan; bagi banyak pelanggan, termasuk saya, ketidaksempurnaan es teh yang tidak diaduk ini sedikit banyak mempengaruhi kepuasan saat bersantap.Â
Urusan es teh ini adalah hal kecil. Tapi dari beberapa pengalaman, justru dari hal sepele inilah keinginan untuk datang lagi ke tempat yang sama bisa terbentuk.
Saya bukan satu-satunya yang merasa kurang puas dengan es teh yang setengah-setengah ini. Beberapa teman saya bahkan mengaku lebih suka mencari rumah makan yang es tehnya sudah diaduk dan siap diminum.
Bukan tanpa alasan; selain soal rasa yang kurang manis, es batu yang mencair otomatis menambah volume air dalam gelas. Ini berarti, setelah es batu larut, manis es teh semakin berkurang. Tidak jarang, akhirnya saya hanya bisa pasrah minum es teh yang terasa semakin hambar di tengah-tengah makan.
Jika ini dianggap sebagai bentuk "kepedulian" penjual terhadap kesehatan pelanggan agar tidak mengonsumsi gula berlebihan, saya rasa ini masih bisa diperdebatkan.
Jumlah gula dalam satu gelas es teh di rumah makan tidaklah banyak, dan kita juga tidak minum es teh sesering itu. Ditambah lagi, sejak kapan rumah makan benar-benar memperhatikan kadar gula untuk pelanggan demi kesehatan mereka?
Sementara itu, kualitas minyak goreng yang digunakan untuk mengolah makanan tidak selalu menjadi perhatian utama. Terkadang minyak goreng yang sudah beberapa kali pakai tetap digunakan, atau bahkan minyak yang sudah mulai menghitam masih dipakai lagi.Â
Jadi, aneh saja jika benar niatnya soal es teh ini adalah demi mengurangi konsumsi gula bagi para pelanggan.
Bagi saya, hal ini sebenarnya kembali pada pengalaman makan yang lengkap dan menyenangkan. Bukan berarti harus selalu sempurna, tapi tentu saja ada hal-hal kecil yang bisa membuat pelanggan merasa lebih dihargai.
Mengaduk es teh sebelum disajikan, misalnya, adalah bentuk perhatian kecil yang memiliki dampak besar. Kalau penjual rumah makan lebih peka terhadap hal ini, mungkin banyak pelanggan yang akan lebih nyaman menikmati setiap teguk es teh yang manis dan menyegarkan, tanpa harus bergelut dengan sendok pengaduk.
Hal kecil seperti penyajian es teh mungkin tidak terlihat sebagai faktor besar bagi keberlangsungan sebuah rumah makan. Namun, jangan remehkan dampak yang dihasilkan dari "detail kecil" ini. Ada banyak pelanggan yang mencari kenyamanan dan kemudahan di tempat makan.
Jika suatu rumah makan bisa menawarkan pengalaman bersantap yang memuaskan hingga ke detail kecil seperti es teh yang siap sruput, maka mereka akan kembali. Sebaliknya, pelanggan yang tidak puas bisa dengan mudah beralih ke tempat lain yang lebih peka terhadap kebutuhan mereka.
Jika Anda seorang pemilik rumah makan, ada baiknya mulai mempertimbangkan soalan kecil ini. Sepi pelanggan bukan semata-mata soal harga atau kualitas menu utama, tapi juga cara penyajian yang memudahkan pelanggan menikmati apa yang mereka pesan.
Menyajikan es teh yang sudah diaduk mungkin tidak akan membuat bisnis Anda mendadak laris, tetapi memperhatikan hal ini adalah bentuk penghargaan yang bisa menumbuhkan loyalitas pelanggan. Siapa tahu, pelanggan yang puas bisa merekomendasikan tempat Anda kepada orang lain, hanya karena mereka merasa "detail kecil" di tempat Anda dipikirkan dengan baik.
Di tengah persaingan bisnis rumah makan, perhatian pada hal kecil seperti ini justru bisa menjadi pembeda. Saat banyak rumah makan berlomba-lomba membuat variasi menu baru atau promosi besar-besaran, memperhatikan es teh yang disajikan secara matang bisa menjadi nilai lebih.
Sejatinya, pelanggan datang untuk menikmati makanan dengan nyaman dan puas, bukan menambah pekerjaan dengan mengaduk minuman yang seharusnya sudah siap minum.
Jadi, kepada para pengusaha rumah makan: apa susahnya, sih, mengaduk es teh terlebih dahulu sebelum disajikan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H