Banyak pekerja kreatif di Indonesia yang sudah bermain di level global. Sebagian dari mereka mendapatkan penghasilan dalam bentuk dolar.
Ada yang baru dari Kabinet Merah Putih pemerintahan Prabowo Gibran 2024, Kementerian Ekonomi Kreatif. Di bawah nahkoda Teuku Riefky Harsya sebagai Menteri dan Irene Umar sebagai Wakil Menterinya. Jujur, antara saya yang nolep, atau memang mereka yang kurang populer, saya kurang kenal.
Kementerian ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak hanya sekadar fokus pada stabilitas ekonomi dan politik, tetapi juga mulai memberi perhatian khusus kepada pelaku industri kreatif. Ini membawa angin segar bagi para pekerja kreatif di Indonesia yang selama ini mendambakan perhatian lebih dari pemerintah, terutama di era digital.
Sejak masa pemerintahan Jokowi-JK (2014-2019), kita sempat mengenal Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), lembaga yang kemudian dilebur menjadi bagian dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di masa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin (2019-2024) yang dipimping oleh Sandiaga Uno.
Kini, Kementerian Ekonomi Kreatif hadir kembali sebagai entitas tersendiri, dan ini bukan hanya soal perubahan struktur. Kehadirannya merefleksikan pengakuan pemerintah terhadap betapa pentingnya sektor ini bagi ekonomi nasional, apalagi dalam menghadapi tantangan global dan perkembangan teknologi yang pesat.
Tetapi, harapan saya pribadi, dan mungkin banyak pekerja kreatif lainnya, adalah agar perhatian ini tidak berhenti di titik formalitas saja. Artinya, bentuk dukungan dari pemerintah tidak sebatas mempromosikan produk budaya tradisional seperti wayang kulit, kerajinan bambu, atau tas belanja dari bungkus ciki dan enceng gondok.
Bukan berarti hal-hal tersebut tidak penting, tetapi definisi pekerja kreatif harus lebih luas. Zaman sudah berubah, dan begitu pula kebutuhan pekerja kreatif. Sekarang, sektor kreatif meliputi desainer grafis, ilustrator, fotografer, videografer, programmer, hingga profesi-profesi berbasis teknologi digital lainnya yang berperan besar dalam dunia ekonomi kreatif masa kini.
Pekerja kreatif hari ini adalah mereka yang bekerja dengan layar komputer, menggali ide-ide segar, dan menciptakan produk yang bukan hanya memiliki nilai estetis tetapi juga ekonomis. Mereka adalah orang-orang yang mengandalkan kreativitas dan teknologi dalam menghasilkan karya, bukan sekadar mengolah bahan-bahan alami menjadi kerajinan tangan. Mereka juga turut membentuk wajah Indonesia di kancah internasional. Namun, apakah perhatian pemerintah benar-benar bisa menjangkau mereka?
Satu hal yang menjadi harapan besar adalah bagaimana bentuk dukungan ini diterjemahkan dalam tindakan nyata. Selama ini, program pemerintah untuk sektor kreatif seringkali terjebak pada hal-hal yang seremonial; workshop yang berulang, seminar kewirausahaan yang konsepnya begitu-begitu saja, atau pelatihan mengubah botol bekas menjadi hiasan yang tidak berkelanjutan. Ini tentu ada manfaatnya, tetapi harapannya, kehadiran Kementerian Ekonomi Kreatif tidak hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan seperti itu.
Perhatian yang dibutuhkan oleh pekerja kreatif di era digital ini lebih dalam dan strategis. Pemerintah diharapkan bisa memberikan dukungan dalam bentuk infrastruktur, pendampingan, pengembangan sistem, dan yang terpenting, pembangunan ekosistem yang bisa membuat sektor kreatif ini berkembang secara berkelanjutan.
Misalnya, dengan menyediakan akses ke perangkat teknologi mutakhir, memperluas jaringan pasar, hingga mempermudah proses perizinan dan legalitas usaha kreatif.
Selain itu, ada realitas yang tidak bisa diabaikan; banyak pekerja kreatif di Indonesia yang sudah bermain di level global. Sebagian dari mereka mendapatkan penghasilan dalam bentuk dolar dari kontribusi di platform mikrostock, menjadi freelancer di berbagai situs kreatif internasional, hingga yang berkutat di belakang layar sebagai pengelola server atau pengembang aplikasi.
Di sinilah pemerintah perlu lebih serius dalam mengelaborasi kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pelaku industri lokal, tetapi juga mereka yang telah mengibarkan sayap ke pasar internasional.
Misalnya, dengan memberikan insentif pajak bagi pekerja kreatif digital yang sering terjebak dalam birokrasi perpajakan yang ribet, atau menyediakan platform yang dapat mempertemukan pekerja kreatif lokal dengan klien dari luar negeri. Ini akan sangat membantu mereka yang selama ini berjuang sendiri menghadapi persaingan global.
Tentu saja, hal ini bukan berarti kita mengabaikan produk-produk budaya tradisional, tetapi sudah saatnya memberikan ruang yang sama bagi profesi kreatif berbasis teknologi untuk tumbuh.
Kementerian Ekonomi Kreatif di bawah kepemimpinan baru ini juga bisa menjembatani kolaborasi antara sektor kreatif dengan sektor-sektor lain, seperti pendidikan dan riset. Bayangkan jika ada program yang menghubungkan mahasiswa desain dengan startup teknologi, atau para ilustrator muda dengan rumah produksi animasi yang membutuhkan talenta baru.
Ini akan menjadi simbiosis yang saling menguntungkan, dan yang lebih penting lagi, mampu menciptakan peluang pekerjaan baru di bidang yang mungkin sebelumnya tidak terpikirkan.
Dengan berkembangnya teknologi dan maraknya penggunaan internet, peluang bagi para pekerja kreatif untuk menjual karyanya semakin luas. Tidak sedikit desainer grafis yang karyanya diminati oleh klien internasional, atau programmer yang karyanya dipakai di berbagai aplikasi yang beroperasi secara global.
Tetapi agar para pekerja ini bisa terus berkembang dan tidak berhenti pada level individual saja, mereka membutuhkan dukungan yang lebih terstruktur. Salah satu bentuk dukungan itu adalah adanya regulasi yang mendukung hak-hak pekerja kreatif, mulai dari perlindungan hak cipta hingga pengembangan platform digital yang ramah bagi para kreator.
Selain itu, dukungan berupa infrastruktur fisik seperti ruang kerja bersama (co-working space) yang difasilitasi pemerintah, akses internet cepat yang terjangkau, hingga program beasiswa atau pelatihan yang fokus pada teknologi baru akan sangat membantu. Hal ini tidak hanya mendorong para pekerja kreatif untuk terus berinovasi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang memungkinkan mereka untuk berkolaborasi dan berbagi pengetahuan.
Kembalinya Kementerian Ekonomi Kreatif ini tentu saja membawa harapan baru. Namun, harapan itu hanya akan terwujud jika pemerintah benar-benar memahami kebutuhan para pelaku kreatif, baik yang bekerja di skala lokal maupun global.
Tidak cukup hanya sekadar mengadakan acara-acara seremonial, tetapi harus ada kebijakan yang konkret dan terarah. Dengan begitu, bukan hanya kreativitas yang terfasilitasi, tetapi juga potensi ekonomi yang ada di dalamnya bisa benar-benar terwujud. Dan kita, sebagai pelaku kreatif, akan bisa lebih optimis menghadapi tantangan era digital dengan lebih percaya diri.
Inilah momentum bagi Indonesia untuk tidak hanya dikenal sebagai negara dengan warisan budaya yang kaya, tetapi juga sebagai pusat kreativitas digital yang diperhitungkan di dunia internasional. Karena di era digital ini, kreativitas adalah salah satu sumber daya yang paling berharga, dan kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H