Mohon tunggu...
Pangestu Adika Putra
Pangestu Adika Putra Mohon Tunggu... Desainer - Pekerja Visual

Nobody

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Penting Gak Penting, Desain Grafis untuk Kehidupan yang Lebih Baik

11 Oktober 2024   11:14 Diperbarui: 23 Oktober 2024   12:35 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- papan reklame iklan. (Dok Prokopim Pontianak via Kompas.com)

Sebagai pekerja visual, hidup saya nggak pernah jauh-jauh dari estetika. Buat saya, warna, font, shape, dan layout bukan hanya sekadar elemen visual saja, mereka adalah bahasa yang bisa berbicara tanpa bersuara. Tapi terkadang saya terpaksa "mendengar" suara-suara aneh dari visual-visual yang saya temui dijalan-jalan seperti spanduk, baliho, banner, yang entah bagaimana, bikin mata saya gatel (bukan gathel). 

Pernah ngalamin juga? Mungkin terdengar remeh dan agak sok idealis. Toh, bagi kebanyakan orang, baliho dan banner-banner itu ya cuma iklan lewat yang nggak perlu dipikirin. Tapi bagi saya, ini seperti nonton film dengan eksekusi CGI yang ala kadarnya, rasanya gimana gitu.

Mata saya tidak bisa berhenti memikirkan betapa fatalnya pemilihan font Comic Sans untuk iklan penjualan mobil bekas. Bayangkan, iklan mobil bekas dikomunikasikan dengan font yang identik dengan buku cerita anak-anak. Ironis to?

Dan itu baru soal font. Belum soal warna, elemen grafis, layout dan aspek lainnya. Saya sering melihat baliho yang isinya full teks numpuk seperti latar belakang skripsi. Rasanya ingin mengirim pesan ke pembuatnya, "Mas, mbak, pak, Bu, ini baliho, bukan novel, nggak ada yang punya waktu buat baca sebanyak itu di lampu merah!"

Padahal, esensi dari komunikasi visual adalah menyampaikan pesan seefektif mungkin. Pemilihan sebuah gambar, warna, teks yang tepat bisa menghemat kata-kata, bahkan waktu membaca. Namun, yang saya lihat di jalanan sering kali malah sebaliknya. Pesannya berusaha banget sampai, tapi justru tenggelam di antara pilihan warna yang terlalu ngejreng dan desain yang penuh sesak.

Warna juga sering jadi masalah. Ada spanduk yang warnanya mencolok banget, sampai-sampai seperti bersaing dengan cerahnya sinar matahari. Kenapa sih, ada orang yang berpikir kalau kombinasi merah stabilo dengan kuning cerah itu ide yang bagus? Apa mereka lupa kalau warna-warna itu bikin mata kayak lagi nonton layar handphone dengan brightness 100% di tengah malam?

Saya jadi kepikiran, mungkin mereka tidak terlalu paham bahwa warna itu punya psikologi. Warna biru bisa bikin orang merasa tenang, warna merah membangkitkan rasa urgensi dan sebagainya. Tapi kalau merahnya terlalu mencolok, yang ada bukan rasa urgensi, tapi malah "pet-petan". Desain itu harusnya berbicara dengan halus, bukan berteriak-teriak.

Ilustrasi : Antara (link)
Ilustrasi : Antara (link)

Bagi saya, branding adalah soal bagaimana sebuah bisnis bisa punya "suara" yang tepat. Ini bukan sekadar soal estetik, tapi soal bagaimana visual bisa jadi jembatan yang menghubungkan produk dengan audiensnya. Sayangnya, banyak yang sepertinya belum paham. Yang penting spanduknya jadi, urusan desain belakangan.

Saya membayangkan visual-visual di jalanan ini diibaratkan seperti orang ngomong. Ada baliho yang ngomong dengan nada suara terlalu kencang (warnanya ngejreng dan fontnya norak), ada juga yang ngomongnya muter-muter nggak jelas (isinya full teks). Boro-boro pesannya dipahami, yang ada malah bikin orang cepat-cepat memindahkan pandangannya.

Saya paham, ada banyak faktor di balik desain-desain tersebut budget misal. Tapi, murah bukan berarti harus murahan, kan? Seharusnya ada cara untuk membuat desain yang sederhana tapi tetap efektif, yang tidak harus mengorbankan selera visual. Apalagi kalau tujuan akhirnya adalah menarik perhatian calon pelanggan.

Komunikasi visual itu sebenarnya kayak seni bicara. Kalau terlalu berlebihan, orang malas dengar. Kalau terlalu lemah, orang nggak peduli. Memilih desain yang tepat itu ibarat memilih kata-kata yang pas dalam percakapan, harus ada keseimbangan antara keindahan dan kejelasan.

Di dunia yang serba visual seperti sekarang, konsistensi dalam branding menjadi kunci. Coba deh lihat merek-merek besar seperti Coca-Cola atau Apple. Mereka nggak pernah main-main soal visual. 

Di setiap sudut, di setiap billboard, baliho, banner mereka tetap tampil seragam, nggak pernah salah pilih warna, nggak pernah pakai font yang bikin sakit mata. Mereka tahu, branding bukan soal sekali tampil, tapi soal bagaimana orang mengingat mereka.

Saya sering merasa gatel ingin turun tangan. Saya ingin sekali bilang, "Pak, Bu, coba pakai font yang lebih elegan sedikit, warna yang lebih kalem, atau mungkin spasi yang lebih manusiawi?" Tapi ya, mana mungkin. Nyatanya, tidak semua orang melihat visual branding dari sudut pandang saya. Dan mungkin, mereka juga nggak peduli.

Kadang saya mikir, apa saya terlalu berlebihan? Apa saya yang kurang realistis, mengharapkan estetika di tempat-tempat yang bagi orang lain tidak terlalu penting? Tapi kemudian saya ingat, bahwa branding bukan cuma soal seni atau estetika. Ini soal strategi, soal bagaimana kita membentuk persepsi orang terhadap sebuah merek.

Setiap kali saya lihat desain yang kureng, saya merasa ada potensi yang terbuang. Bukan hanya karena desainnya jelek, tapi karena pesan yang ingin mereka sampaikan akhirnya terdistorsi. Dan itu menyedihkan, terutama karena saya tahu betapa powerful-nya sebuah visual yang ditata dengan benar.

Banyak orang mungkin berpikir, "Yang penting pesan sampai, nggak usah neko-neko." Tapi bagi saya, desain bukan cuma soal informasi sampai atau tidak. Ini tentang bagaimana informasi itu diterima. Apakah orang merasa tertarik? Apakah mereka nyaman melihatnya? Atau malah jadi pengen cepat-cepat buang muka karena visualnya kureng?

Sebelum ada yang salah paham, saya perlu klarifikasi dulu, bukan berarti saya merasa lebih pintar atau sok perfeksionis. Saya paham betul, membuat desain yang baik itu bukan perkara mudah. Ada banyak sekali variabel yang terlibat, mulai dari budget, waktu, hingga selera klien yang kadang sulit diprediksi. Ini bukan tentang menyalahkan siapa pun, apalagi merendahkan pekerjaan teman-teman di bidang kreatif lain.

Sekali lagi, saya bukan sedang mencoba jadi hakim estetika. Saya hanya menyayangkan kalau kesempatan untuk membuat komunikasi visual yang bagus, yang bisa meningkatkan kualitas brand atau bisnis, malah terbuang karena kurangnya perhatian terhadap detail kecil dalam visual atau desain. Seandainya saja lebih banyak pebisnis yang paham betapa pentingnya melibatkan desainer profesional, mungkin kita bisa melihat wajah kota yang lebih estetik, bukan?

Dan sebelum ada yang menuduh saya lagi promosi jasa desain atau branding, saya tegaskan: saya nggak sedang jualan. Di Indonesia ini, banyak sekali agency branding, agency marketing, studio desain, atau profesional yang siap membantu. Kalau kita sadar bahwa urusan komunikasi visual bukan bidang yang kita kuasai, ya kenapa nggak melibatkan mereka saja? Pilih yang paling relevan buat bisnis kita, tanyakan biayanya, komunikasikan budget yang kita punya.

Kalau agency branding terasa mahal, ya coba pindah ke studio yang lebih kecil. Kalau studio masih terlalu tinggi, bisa kok tanya langsung ke desainer atau profesional secara personal. Banyak opsi di luar sana, tinggal pintar-pintar kita memilih mana yang paling cocok. Intinya, kita punya banyak pilihan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Tapi, poin utamanya bukan di mana kita cari jasa atau berapa besar biayanya. Yang penting adalah kesadaran bahwa citra bisnis kita itu penting. Jangan asal-asalan bikin visual, apalagi untuk sesuatu yang akan dilihat banyak orang.

Kualitas visual itu bisa jadi tolok ukur seberapa serius kita dalam menjalankan bisnis. Kalau desainnya terlihat asal, bukankah itu bisa membuat kesan bahwa bisnis kita juga dikerjakan setengah hati?

Dan inilah kenapa, meskipun sering merasa kesal, saya tetap tidak bisa lepas dari dunia ini. Sampai kapan pun, saya akan tetap memandangi visual-visual di jalan dengan tatapan kritis, sambil berharap suatu saat ada yang paham bahwa desain itu bukan sekadar estetika, tapi juga pesan yang bisa bikin dunia jadi lebih baik atau setidaknya, lebih enak dilihat.

Jadi, buat saya, melihat kehidupan sehari-hari dari sudut pandang branding adalah cara saya tetap waras. Di balik setiap kesalahan desain, saya melihat peluang untuk perbaikan, untuk sebuah pesan yang bisa lebih baik lagi. Ini mungkin hal sepele, tapi bagi saya, ini adalah harapan kecil di tengah lautan desain yang sering kali bikin frustasi, baik diruang digital maupun diruang publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun