Facebook. Ya, sejak tahun 2009, dinding Facebook saya seperti tempat pembuangan sampah. Satu per satu saya hapusi postingan yang kalau dipikir sekarang bikin malu. Alay, lebay, nggak penting, dan sedikit-sedikit update status. Kadang sok bijak, bikin kata-kata mutiara yang berasa kayak filsuf tapi hasilnya malah cringe. Kadang juga keluar umpatan nggak jelas. Pokoknya, sampah digital lah!
Sudah hampir lima hari ini, saya fokus bersih-bersih akunSelama empat hari berurusan dengan nostalgia alay, saya mulai merenung. Ternyata, dulu saya sering banget update status bukan karena pengin eksis doang, tapi lebih ke pelarian. Facebook waktu itu jadi satu-satunya tempat buat melampiaskan isi hati sehari-hari. Coba bayangin, hidup di tahun 2009-2013, jauh dari keluarga, nggak punya teman curhat, dan nggak punya pacar (eh, ada sih pacar, tapi ya gitu deh, nggak bisa juga dicurhatin). Facebook jadi semacam terapi gratisan.
Waktu itu, nggak kepikiran buat cerita langsung ke orang. Ngobrol? Curhat? Nggak lah. Apalagi ngobrol sama orang tua, kadang malah jadi ceramah. Jadilah saya lebih suka nyampah di Facebook. Tulis status, tekan enter, terus nunggu notifikasi orang yang nge-like atau komen, walaupun komentarnya cuma "wkwkwk" atau emoji nangis ketawa.
Tapi ya begitu, Facebook di masa itu memang tempat pelarian paling murah meriah. Nggak perlu bayar, nggak perlu basa-basi. Begitu pengin curhat, langsung ketik, dan masalah selesai (atau malah makin ruwet). Lucunya, kalau diingat-ingat sekarang, postingan yang dulu saya anggap serius banget malah jadi bahan ketawaan sendiri. "Kok bisa ya gue posting kayak gini?"
Contohnya, dulu saya sering bikin status galau nggak jelas. Isinya kata-kata mutiara hasil rangkaian random pikiran di tengah malam. Kadang dikasih bumbu quotes ala Mario Teguh, tapi eksekusinya gagal total. Satu kata: cringey! Kalau sekarang baca lagi, rasanya pengin masuk ke mesin waktu terus ngeplak diri sendiri. Tapi ya gimana, itu bagian dari perjalanan hidup.
Terus, di masa-masa itu juga, saya sadar nggak punya banyak pilihan buat berbagi cerita. Teman dekat? Nihil. Orang tua? Ah, mereka sibuk. Pacar? Ada sih, tapi nggak bisa juga diajak curhat hal-hal yang terlalu mendalam. Akhirnya, Facebook jadi semacam teman dekat yang bisa di-spam status galau tiap hari. Bukan cuma tempat buat pamer foto jalan-jalan atau makan di warung, tapi beneran kayak jurnal digital.
Sekarang, saya jadi sadar bahwa Facebook di era 2009-2013 buat saya adalah bentuk pelampiasan emosional. Karena nggak punya orang buat ngobrol, yaudah, Facebook jadi tempat pelarian. Dan anehnya, itu lumayan berhasil, loh. Nggak peduli seberapa absurd status yang saya tulis, setelahnya rasanya lega. Mungkin inilah yang disebut catharsis di dunia psikologi. Cuma bedanya, di sini curhatnya bukan sama terapis, tapi sama algoritma.
Sekarang, setelah bersih-bersih selama berhari-hari, saya jadi melihat bahwa fase itu adalah bagian penting dari proses pendewasaan. Dulu mungkin lebay, alay, dan nggak penting. Tapi ya, itu salah satu cara saya belajar memahami diri sendiri, walau medianya Facebook yang kadang absurd.
Sekarang, saya lebih memilih menyimpan perasaan untuk diri sendiri atau cerita ke orang-orang terdekat secara langsung. Lagipula, ngapain juga update status galau sekarang? Zaman sudah beda. Mungkin sekarang lebih bijak buat menulis status yang ada faedahnya, daripada nyampah di linimasa.
Ya, begitulah. Bersih-bersih Facebook mengajarkan saya satu hal: betapa pentingnya kita merefleksikan apa yang kita tulis. Apa yang dulu terasa penting, ternyata sekarang cuma jadi bahan ketawaan. Tapi ya nggak apa-apa, namanya juga hidup. Kadang kita butuh masa alay untuk tumbuh dewasa.