Mohon tunggu...
Pangestu Adika Putra
Pangestu Adika Putra Mohon Tunggu... Desainer - Pekerja Visual

Nobody

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tidak Wajib Skripsi dan Kekhawatiran Menurunnya Kualitas Sarjana di Indonesia

5 September 2023   15:37 Diperbarui: 5 September 2023   15:51 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto/Ilustrasi : Freepik.com

Aturan baru Kemendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang syarat lulus kuliah masih terus jadi bahan pembicaraan. Setidaknya masih sering dibahas dan jadi tema diskusi di media-media sosial hingga media konvensional.Aturan tersebut tidak mewajibkan mahasiswa tingkat diploma hingga doktoral untuk mengerjakan skripsi, tesis ataupun desertasi. Menurut mas Menstri Nadiem Makarim, karya ilmiah seperti skripsi bukan satu-satunya cara untuk mengukur kopetensi calon sarjana, terlebih bagi mahasiswa vokasi atau ilmu terapan.

Bentuk tugas akhir sepenuhnya diserahkan ke pihak kampus. Kepala jurusan dan mahasiswa memungkinkan menentukan bentuk tugas akhir seperti apa yang lebih relevan.

Di tengah-tengah masyarakat, aturan Skripsi Tidak Wajib ini menimbulkan Pro dan Kontra. Bagi yang Pro, mereka menganggap aturan ini tepat, sebab mahasiswa tidak lagi merasa dipaksa harus mengerjakan skripsi, dengan aturan ini calon sarjana dapat memilih bentuk tugas akhirnya sendiri sesuai minat dan kopetensinya.

Sedangkan bagi yang Kontra, mereka beranggapan bahwa Aturan ini justru akan menurunkan kualitas sarjana hingga menimbulkan disparitas antar pergruan tinggi. Karena tidak ada kesepakatan atau standar maka akan ada perguruan tinggi yang dengan mudah meluluskan mahasiswa dan disatu sisi akan ada perguruan tinggi yang tidak demikan.

Well, kita mulai dari isu kualitas sarjana dulu. Benarkah jika skripsi/tesis/desertasi tak lagi wajib akan berdampak pada kualitas sarjana di Indonesia?  mungkin iya, tetapi bisa jadi juga tidak ada hubungannya.

Gini, merujuk ke aturan di atas tadi yah, sebenarnya Mas Menteri Nadiem tidak menghilangkan Tugas Akhir sebagai syarat kelulusan. Tugas Akhir tetap ada, dan bahkan tetap wajib dong. Hanya saja, melalui aturan terbaru ini, mereka diberi kebebasan memilih bentuk tugas akhirnya.

Bentuk tugas akhir bisa beragam, prototipe, proyek, portofolio karya, skripsi, tesis, desertasi dan bisa jadi lebih banyak lagi. Bagi mahasiswa yang tetap memilih bentuk tugas akhir skripsi, tesis ataupun desertasi tidak menjadi soal bahkan bagus.

Lantas mengapa mahasiswa dibebaskan memilih? yang paling mendasar adalah masalah Motivasi. Seringkali mahasiswa butuh beribu-ribu alasan dan motif agar tetap komit. Sebab tidak sedikit yang akhirnya berhenti di tengah jalan karena khilangan gairah (motivasi) karena bukan minatnya. Seperti yang menulis artikel ini, sarjana teknik mesin minus skripsi, yang akhirnya kuliah di jurusan berbeda.

Akan beda cerita kalau mereka yang menentukan sendiri bentuk tugas akhirnya bukan?

Selain itu, dengan memilih tugas akhir berdasarkan minat memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuan kompetensinya lebih dalam. Mereka akan jadi lebih siap menghadapi dunia kerja karena telah memiliki kompetensi yang terasah, bahkan ahli dibidangnya.

Prinsip sederhana dari konsep ini adalah memulainya dari minat, kemudian berproses belajar dan literasi (difasilitasi kampus), mengasah kompetensi melalui program yang memungkinkan seperti magang, dan diaktualisasikan dalam bentuk tugas akhir yang relevan.

Apakah mereka yang fokus pada satu minat dan kompetensi menjadikan kualitas mereka menurun? silahkan diperdebatkan lagi.

Kemudian terkait Disparitas atau perbedaan antar perguruan tinggi. Isunya, dikhawatirkan akan ada perguruan tinggi yang dengan mudah "meluluskan" mahasiswanya dan ada perguruan tinggi yang tidak demikian.

Bukankah fenomena itu sudah terjadi di Indonesia? Perguruan tinggi dengan mudah memberikan Ijazah bagi mahasiswanya. Bahkan mahasiswa tidak pernah kuluiah tapi bisa ikut wisuda.

Masih ingat video pendek yang sempat viral di media sosial? yang menampilkan beberapa mahasiswi tengah megikuti prosesi wisuda. Saat ditanya perekam mengenai IPK dia tidak bisa menjawab bahkan nampak bingung dan spontan menjawab "belum dibagikan".

Itukah yang dimaksud disparitas perguruan tinggi? jika iya, maka tidak perlu menunggu Aturan baru dari Kemendikbudristek ini untuk terjadi, diakui atau tidak fenomena itu sudah ada.

Menurut saya, kualitas sarjana di Indonesia maupun diseluruh dunia tidak terkait dengan jenis tugas akhir apa yang mereka pilih. Faktanya banyak sarjana di Indonesia yang lulus tanpa menulis skripsi.

Kualitas seorang sarjana lebih tentang semangat untuk belajar, rasa ingin tahu, dan kemampuan berpikir kritis. Itu yang membentuk pemikiran mereka, bukan hanya jenis tugas akhir yang mereka kerjakan.

Jadi, biarkan mahasiswa mengejar minat dan potensinya. Yang terpenting adalah mereka mendapatkan pengalaman berharga dan pengetahuan yang dapat mereka terapkan dalam dunia nyata. Bagaimana pun, setiap perjalanan pendidikan adalah unik, dan kualitas seorang sarjana tidak bisa diukur hanya dari tugas akhir mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun