Mohon tunggu...
pangeran toba hasibuan
pangeran toba hasibuan Mohon Tunggu... Lainnya - jadilah seperti akar meski tidak terlihat, tetap tulus menguatkan batang dan menghidupi daun, bunga atau buah termasuk dirinya sendiri

Bukan apa yang kita dapatkan, tapi menjadi siapakah kita, apa yang kita kontribusikan, itulah yang memberi arti bagi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Minat Internet Tinggi, Nilai PISA Rendah

20 Oktober 2023   15:50 Diperbarui: 20 Oktober 2023   15:50 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis bahwa pengguna internet di Indonesia setiap tahun terus meningkat dan pada periode 2022-2023 mencapai 215,63 juta orang (78,19%) dari jumlah populasi. Sedangkan berdasarkan usia, penetrasi internet tertinggi sebesar 99,16% berada di kelompok usia 13-18.

Hasil survey tersebut tentu menggembirakan sebab dengan banyaknya penduduk yang terkoneksi ke internet menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah melek teknologi dan dengan penggunaan internet seharusnya selaras dengan meningkatnya minat baca.

Namun, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis bahwa skor PISA berdasar hasil survey 2019 menunjukkan Indonesia menempati posisi 10 terbawah (urutan 62 dari 70 negara) dalam hal literasi. Sementara UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca (Kompas, 2/10/2023).

OECD adalah sebuah organisasi internasional yang didirikan tahun 1961 yang bergerak dalam bidang Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi dari negara-negara yang memiliki perekonomian maju dan berkomitmen untuk bekerja sama dalam bidang kebijakan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang menerima prinsip demokrasi perwakilan. Sedangkan Programme for International Student Assessment (PISA) adalah salah satu kegiatan dari OECD  setiap tiga tahun sekali untuk mengevaluasi sistem pendidikan di dunia dengan mengukur performa akademik pelajar anggota OECD yang berusia 15 tahun. Penilaian dilakukan dengan memilih sekolah-sekolah secara acak dan skor PISA  digunakan sebagai salah satu tolok ukur capaian pendidikan dalam bidang kemampuan membaca, bahasa, hingga kemampuan sains siswa.

Hasil studi PISA 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371, dengan rata-rata skor OECD yakni 487. Kemudian untuk skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains, skor rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 dengan skor rata-rata OECD yakni 489.

Timbul rasa prihatin membaca skor PISA tersebut mengingat Indonesia sudah memiliki program wajib belajar 12 tahun sebagai lanjutan wajib belajar 9 tahun yang sudah dicanangkan sejak 1994. Menjadi pertanyaan, apakah minat membaca tidak menjadi salah satu bagian sasaran program wajib belajar tersebut?

Meskipun Indonesia belum sebagai anggota resmi OECD tetapi harus mampu menyikapi skor PISA tersebut secara positip guna menyempurnakan kebijakan pendidikan nasional sebab hasil asesmen ini merupakan cerminan kualitas pendidikan Indonesia  dan dapat memperburuk citra Indonesia di mata internasional jika tidak dilakukan langkah-langkah perbaikan. Selain itu skor PISA dapat membantu negara dalam mempersiapkan sumber daya manusia agar memiliki kompetensi yang sesuai dan diharapkan dapat berkompetisi dalam pasar internasional.

Dengan melihat skor PISA dan hasil survei APJII tersebut kita dapat mengatakan bahwa remaja usia pelajar sebagai pengguna internet terbesar belum menggunakan koneksi internet sebagai sarana belajar atau untuk menumbuhkan minat baca. Siswa kita pandai dalam mencari informasi, mengevaluasi, dan merefleksi informasi, tetapi lemah dalam memahami informasi atau dengan kata lain bahwa siswa Indonesia bagus di dalam pemahaman untuk single text tetapi masih lemah di dalam memahami multiple text.

Survey menunjukkan bahwa pengguna internet lebih banyak menggunakan untuk permainan (game online), menonton, berbelanja maupun mengakses media sosial.

Meningkatkan tingkat literasi bukanlah tugas pemerintah semata tetapi memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak,  pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan sektor swasta. Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi gerakan literasi.

Pertama, akses pendidikan yang merata. Beberapa daerah di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menyediakan akses pendidikan yang memadai, terutama di daerah pedesaan. Angka kemiskinan yang tinggi, fasilitas pendidikan yang kurang memadai dan biaya pendidikan yang tinggi dapat menjadi hambatan. Tidak dapat dimungkiri, meskipun akses ke pendidikan mungkin tersedia tetapi kualitas pendidikan masih bervariasi. Kurangnya guru yang berkualifikasi, metode pengajaran yang tidak memadai, dan kurikulum yang kurang relevan dapat mempengaruhi efektivitas sistem pendidikan.

Kedua, melakukan promosikan literasi sejak dini melalui program pembelajaran yang menarik dan berfokus pada pengembangan keterampilan membaca dan menulis. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya literasi dan pendidikan juga memainkan peran kunci sebab masih banyak masyarakat kita yang kurang menyadari pentingnya literasi.

Ketiga, diversifikasi bahan bacaan. Minimnya bahan bacaan dan literatur berkualitas dalam bahasa Indonesia dapat mempengaruhi minat membaca dan perkembangan literasi.  Dibutuhkan ketersediaan buku dan materi bacaan yang merangsang minat membaca pelajar dengan bahan bacaan yang beragam dan berisi materi literasi lokal.

Keempat, peran keluarga dan partisipasi masyarakat. Minat dan kebiasaan membaca anak harus sudah dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Dalam hal ini peranan orang tua menjadi sangat dominan dengan memberikan contoh. Kebiasaan  membaca yang dimulai dari keluarga kemudian dilanjutkan dengan kurikulum sekolah dan pengajar yang terlatih  merupakan pilar utama dalam gerakan literasi.

Tingginya persentase pengguna internet di Indonesia merupakan peluang sekaligus tantangan dalam mengembangkan minat baca pada era digital saat ini. Sudah bukan masanya lagi memaksakan siswa membaca buku yang belum tentu disukainya.

Meningkatkan literasi memerlukan komitmen jangka panjang dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan. Dibutuhkan pemahaman dalam menghadapi tantangan lokal dan solusi yang tepat sasaran dalam upaya meningkatkan literasi, tidak cukup sekedar penambahan anggaran untuk pembelian buku di perpustakaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun