Yang kesemuanya itu adalah faktor-faktor eksternal yang bisa memengaruhi ketersediaan pangan. Lantas bagaimana dengan faktor internal? Pemerintah seharusnya lebih mengedepankan paparan terkait apa dan bagaimana rencana, pelaksanaan, kendala maupun evaluasi dalam rangka pemenuhuan kebutuhan pangan nasional.
Penulis mencatat, dalam kurun sepuluh hari sejak tanggal 5 Desember 2022, Kompas sudah lima kali menjadikan topik pangan menjadi berita utama antara lain: Bulog: Beras Impor Tiba Bulan Ini; Separuh Lebih Penduduk Tak Mampu Makan Bergizi; Ketimpangan Harga Pangan Perparah Tengkes; Limbung Pangan di Merauke dan Program Lumbung Pangan Berulang Kali Gagal.
Mengingat persoalan pangan menyangkut hajat hidup orang banyak dengan demikian membicarakan ketahanan pangan tidak cukup hanya sekedar hitung-hitungan berapa banyak rata-rata kebutuhan konsumsi, berapa persediaan dan berapa banyak kekurangan yang harus dipenuhi dengan cara impor.
Perencanaan harus dimulai dari hulu, berapa besar (banyak) ketersediaan lahan yang dimiliki. Untuk meningkatkan efisiensi perlu dilakukan pengolahan tanah, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan panen secara mekanisasi. Kemudian pemilihan dan penggunaan bibit unggul yang tepat. Termasuk  pengolahan pasca panen serta penyimpanan sampai pemasaran dan distribusi. Semua dilakukan secara holistik mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi termasuk pembinaan kelompok tani (poktan) sehingga diperoleh pondasi yang kokoh.
Sektor pangan masih perlu mendapatkan perhatian dan penanganan serius dari pemangku kebijakan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Adalah sebuah ironi jika  tahu dan tempe yang berbasis bahan dasar kedelai yang kita klaim sebagai makanan asli tradisional masyarakat kita sejak dulu tetapi untuk bahan dasarnya kita tidak sanggup memenuhi di dalam negeri. Apakah sudah pernah dilakukan kajian dan analisa penyebabnya?Â
Dalam konteks ketahanan pangan sebenarnya kita mampu mewujudkan kemandirian pangan sebab selain faktor alam yang memadai, kita juga memiliki instrumen pendukung. Persoalan pangan bukanlah masalah besar. Memang untuk pembangunan pertanian tidak bisa dalam waktu sekejap dibutuhkan 'political will' dan konsistensi.
Kita memiliki kementerian teknis khusus bidang pertanian yang memiliki perangkat penyuluh lapangan melalui dinas pertanian sampai tingkat daerah. Kita memiliki Dinas Ketahanan Pangan di tiap kabupaten dan kota selain Dinas Perdagangan maupun Badan Pangan Nasional. Selain itu hampir semua universitas di Indonesia baik negeri maupun swasta memiliki Fakultas Pertanian maupun Fakultas Teknologi Pertanian yang memiliki program studi mulai dari pembukaan lahan sampai penanganan pasca panen yang dapat dilibatkan dalam kajian akademik. Di samping itu kita juga memiliki Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Mekanisasi Pertanian yang terdiri dari ahli-ahli dalam bidangnya yang menyandang gelar doktor lulusan dalam maupun luar negeri. Jika semua modal sumber daya yang kita miliki tersebut bergerak sinergis niscaya persoalan pangan nasional bisa teratasi.
Kita bisa melihat bagaimana kemajuan pertanian negara tetangga seperti, China dan Thailand. Bahkan Vietnam dan Kamboja belakangan ini sudah mulai menggeliat mengembangkan industri dan teknologi pertaniannya. Bagaimana dengan Indonesia?
Selain itu, guna mewujudkan kemandirian pangan, pemerintah juga sudah mencanangkan proyek lumbung pangan (food estate) sejak 2020 yang tersebar di beberapa daerah Sumut, Papua dan Kalimantan sebagai salah satu agenda Program Strategis Nasional untuk pemulihan ekonomi nasional. Puluhan ribu bahkan mencapai ratusan ribu hektar lahan  disiapkan untuk program ini dengan kucuran dana APBN yang tidak sedikit. Namun Program yang berbasis hortikultura dan korporasi petani yang dikerjakan oleh kementerian pertanian dan kementerian PUPR nampaknya belum menunjukkan keberhasilan. Pemerintah sangat minim menyampaikan informasi terkait pelaksanaan lumbung pangan ini. Kompas pernah mengulas ketidakberhasilan lumbung pangan di Merauke disebabkan karena ketidaksesuaian lahan serta masih  minimnya infrastruktur.
Proyek lumbung pangan ini harus segera dievaluasi dengan melibatkan ahli maupun akademisi. Jangan sampai mengalami kegagalan seperti program sawah sejuta hektar pada masa orde baru.
Dari persoalan impor beras kali ini ada beberapa kesimpulan persoalan seperti di bawah ini yang menjadi tugas rumah pemerintah yang perlu dievaluasi dengan cermat sehingga persoalan yang sama tidak berulang setiap tahun mengingat Indonesia adalah negara agraris terbesar.