" Tidak ada paksaan dalam agama, kebenaran itu jelas berbeda dengan kesesatan "
( Al-Baqarah : 256 )
Maka mengapa kita harus memulai sesuatu pembicaraan dengan orang-orang, yang karena ketidak-tahuan mereka, dengan begitu sensitif? Padahal :
" Dan janganlah kamu berselisih dengan ahli kitab, kecuali dengan cara yang lebih baik, dan kecuali dengan orang-orang yang zalim diantara mereka. Dan katakanlah, Kami percaya kepada apa yang diturunkan kepada kami dan diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu dan kepada-Nya kami berserah diri "
( Al- ankabut : 46 )
Dan,
" Dia mensyariatkan agama yang sama seperti yang Dia wasiatkan kepada Nuh, yang Kami wahyukan kepadamu, dan yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. Tegakkanlah agama itu dan janganlah berpecah belah di dalamnya "
( Asy-Syuura' : 13 )
Itulah titik tolak kita: tekanan pada warisan spiritual yang sama. Dari sana, kita dapat meyakinkan mereka bahwa mereka dapat membawa serta sebagian besar keyakinan mereka melalui pintu saringan islam. Mereka hanya harus membuang sedikit gagasan keliru yang merepotkan yang sebenarnya tidak sepenuhnya mereka yakini.
Kehidupan nabi Muhammad SAW, dan para sahabatnya mengemakan spirit toleransi ini. Pernah sekelompok non-muslim meminta Rasulullah SAW mendoakan untuk mereka agar turun hujan. Rasulullah tidak mengatakan kepada mereka bahwa mereka pantas mati karena kehausan. Ia pun tidak menyembur mereka dengan kata-kata bahwa mereka akan ditempatkan di neraka. Nabi memenuhi permintaan mereka, dan hasilnya, hujan pun turun seminggu, sehingga mereka meminta Nabi untuk menghentikan hujan. Nabi SAW berkata : " ݪª Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami dan bukan pada kami. " Maka awan hitam pun berpencar dan hujan pun turun di daerah sekitar, (mas-ruq/bukhari)
Dengan kata lain, kemauan baiklah yang penting: kita harus mengharapkan yang terbaik bagi semua makhluk Allah dan membasmi setiap parasit kebencian yang mengerayangi ego kita.
Pada peristiwa lain, suatu iring-iringan pemakaman melewati Nabi SAW. Yang lalu berdiri untuk menghormati si mati. Ketika ia diberi tahu bahwa si mati adalah orang yahudi, ia menjawab, " bukankah ia pun jiwa yang hidup ? " (Abdur Rahman bin Abi Laila/Bukhari).
Kitalah yang berabad-abad setelah Nabi menunjukkan contoh hidupnya, cenderung kehilangan wawasan: dan kehilangan kerendahan hati yang seharusnya mewarnai karakter kita sebagai Muslim. Kita tak perlu mengkarantina diri dari orang-orang ahli kitab . Sahabat Nabi pun banyak yang mempunyai hubungan yang baik dengan orang kristen. Bahkan Ibnu Abbas sering shalat di gereja-gereja yang bebas patung (bukhari).
Kita seharusnya ingat bahwa iman dan petunjuk itu adalah semata-mata karunia Allah,