Beberapa waktu yang lalu, saya meyakini bahwa saya pasti akan terpapar COVID-19. Tetapi, karena saya sehat dan prima, si virus hanya akan numpang lewat, bahkan tanpa saya menyadarinya.
Beberapa hari ini saya totally bedrest. Hanya rebahan dan tiduran di ranjang. Sambil main game Worms Zone. Anak saya yang ngajari. Meski game ini levelnya tingkat Balita, saya menyukainya. Karena game ini tidak menyuruh saya berpikir. Telan mentah-mentah, nikmati, dan bagikan ke semua orang. Tentang hukum yang begini ini, saya setiap hari melakoninya. Itu adalah iman pertama saya ketika bermedsos. Jadi, meski baru mengenal game cacing ini, saya langsung bisa menyesuaikannya.
Sudah seminggu ini saya menyadari ada yang kagak bener pada badan saya. Badan saya seperti roso-rosonen. Lemes lunglai. Meriang tapi tidak demam. Panas di dalam tapi dingin di luar. Beberapa hari saya sesak napas. Disertai batuk-batuk kecil. Juga ada satu hari yang rasanya saya selalu haus. Minum terus. Mungkin hari itu saya minum lebih dari 5 liter. Atau paling tidak 0.5 liter. Pokoknya banyak. Hari yang lain saya seperti diare. Pergi ke toilet dalam satu hari lebih banyak daripada jumlah saya sholat.
Karena saya tahu persis penyebab sakit saya, saya tidak memeriksakan diri ke faskes. Utamanya saat saya sesak napas. Pasti saya akan dikategorikan sebagai PDP. Lalu ditest. Dengan rapid yang dibeli tapi hasilnya tidak diakui itu. Dan dua kali swab dan diuji pakai PCR. Lalu saya akan dikurung dalam satu ruangan. Istri dan anak saya tidak boleh menjenguk. Apalagi tetangga saya yang janda muda itu.Â
Saya akan dirawat selama 14 hari, hanya berteman ponsel. Sebenarnya di hari biasa pun, saya sering mengisolasi diri dari hubungan sosial, hanya berteman dengan ponsel. Sholat saja saya sering lewat WA. Saya punya nomor WA malaikat yang biasa mencatat amal. Tentu tidak akan saya tulis di sini. Tapi membayangkan 14 hari hanya berteman ponsel, saya kok belum siap ya..
Alhamdulillah, syukur Gusti, hari ini saya sudah baikan. Badan sudah bisa diajak ke kantor setelah seminggu pamit. Meski juga sedih, kok korban terpapar pandemi Corona 'baru' 3300 lebih dikit ya? Harusnya kan sudah 36000, atau 21000, atau minimal 11000. Tergantung ngitungnya pake gaya mana. Lha ini, baru 3300.
Saya menduga kalo juru bicara khusus yang menangani pandemi ini berasal dari kab. Gunungkidul. Desa Ngawis, Kec. Karangmojo. Apa hubungannya?Â
Dulu, waktu saya masih sering bakti sosial, setiap saya tanya ke warga, selalu di jawab dengan ilmu skala tingkat tinggi. Saya pernah bertanya; "pakdhe, nek badhe tindak masjid, tebih mboten nggih?"(Paman, kalo mau ke masjid, jauh nggak ya?). Biasanya mereka akan menjawab. "Wah, mas ganteng, mesjid namung cerak mriku. Mboten nganti 50 Meter kok.."dan (Wah, mas ganteng, masjid hanya dekat situ. Nggak sampe 50 meter kok...).
Begitulah mereka menjawab. Dan tahukah anda, jarak 50 M itu kami tempuh dalam jangka waktu berapa menit? 5, 10, 20 atau 30 menit? Setelah saya berjalan, barulah saya tahu arti 50 M itu. Saya berangkat sholat Jum'at jam 11.15. Sampai di masjid jumatannya sudah bubar. Saya melongo. Ditambah kaki saya sakit dan badan pegel-pegel. Juga hati saya ambyar. Rasa sakitnya seperti dipukuli perawan satu kampung.
Ah, buat apa kita ngitung angka-angka? Biarkan saja..
Setelah beberapa hari merasa disandera dan disakiti habis-habisan oleh pandemi ini, kini saya merasa jatuh cinta dengan Corona. Dan mulai membenarkan apapun akibat adanya dari pandemi ini.
Waktu membaca berita bahwa bumi tersenyum karena berkurangnya aktivitas manusia, saya sangat bahagia.
Waktu saya baca berita tentang meninggalnya 4 keluarga kaya raya di Semarang karena Corona, saya merasa sangat bahagia. Wong yang lain pada jaga jarak, lha kok mereka pada pesta. Plus karaoke bersama.
Waktu saya baca berita bahwa Boris Johnson masuk ICCU karena kondisi memburuk, saya berjingkrak jingkrak ria. Ia kan kembarannya Donald Trump.
Waktu saya dengar 2 orang dari rombongan pejuang dari Kab. Gowa positif Corona di Kabupaten saya, saya mengucap Alhamdulillah. Gimana saya nggak bilang Alhamdulillah, lha setelah mereka datang dari Gowa, mereka tidak mengisolasi diri. Menyebar dan berjamaah di tempat tempat ibadah. Di tolak di sini pindah ke sana. Tidak diterima di sini, menuju ke situ. Alhamdulillah, setelah 3 rekannya positif, baru mereka bisa dijinakkan. Alhamdulillah..
Juga mendengar ekonomi yang hancur lebur, saya juga sangat bersyukur. Toh selama ini saya juga bukan orang yang menikmati majunya ekonomi. Saya hanya jadi ahli konsumsi.
Termasuk ketika sholat Jum'at ditiadakan, saya juga senang. Alhamdulillah, sesekali melakukan ibadah dengan cara yang lain. Mungkin tuhan mulai bosan dengan cara ibadah kita. Juga ketika tarawih tidak lagi dilakukan secara berjamaah, saya sangat senang. Di samping saya bisa ambil cuti sebagai imam tarawih di kompleks, ini juga mengembalikan hukum sholat tarawih menjadi hukum asalnya. Kan hanya sholat sunah. Kan lebih utama dilakukan di rumah. Alhamdulillah...
Tapi, kesenangan saya belakangan ini semakin aneh. Saya mulai membenarkan dan lebih menyukai berita berita negatif efek Korona. Pokoknya benar, benar dan benar. Dan semakin negatif itu berita, saya semakin senang, senang dan senang.
Saya juga mulai membenarkan seseorang di sana yang selalu mengaitkan Corona dengan uang, uang dan uang.
Saya benar-benar telah menyukai Corona, tidak peduli harga masker yang sudah gila. Juga harga hand sanitizer yang nggak masuk logika. Saya betul-betul mencintai Corona tanpa syarat. sebagaimana korban sanderanya Jan-Erik Olsson di Kreditbanken Swiss beberapa dekade lalu yang justru membela sang perampok yang menyandera mereka. Juga seperti Natascha Kampusch, Mary McElroy dan juga Patty Hearst.
Apa iya saya juga senang ketika mendengar berita bahwa saudara saudara saya pada kelaparan di Jakarta sana karena tidak ada penghasilan?
Kalo itu yang terjadi, betapa djuancuuuk dan buangsaaaatnya saya..
Ah, sebaiknya semua orang mulai hari ini tidak lagi membicarakan Corona. Baiknya kita tiktokan saja, hasilnya kan untuk sumbangan Corona. Tapi jangan menyanyikan lagi yang ini:
Dengarkan
Dengarkan lagu.....lagu ini
Melodi rintihan hati ini
Kisah kita berakhir di Januari
Selamat tinggal kisah sejatiku
Wow....pergilah
Begitu, betul?
Sampit, malam tadi sambil menatap bulan purnama indah di depan rumah. Sebentar lagi tamu besar akan berkunjung. Tapi, siapakah??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H