Mohon tunggu...
Pangeran Djoko
Pangeran Djoko Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar abadi

Sedang belajar menulis tentang apa saja, kapan saja, di mana saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Anda Mengenal Si Alis Tebal, Si Gadis Anggun, Si Muka Tanpa Dosa, Si Gigi Biru atau Eci Bunda Pejuang?

22 Februari 2020   08:31 Diperbarui: 22 Februari 2020   08:32 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baiklah, saya akan menceritakan si ECI. Bukan karena sekolahnya berada ditengah padang gembala sapi. Bukan karena sekolahnya tidak memiliki papan nama, karena sudah berubah menjadi pancang tali sapi. Bukan karena APE luar ruangan sekolah yang dipenuhi tahi sapi. Bukan juga karena jumlah siswa nya lebih sedikit dari jumlah kaki sepasang sapi. Saya menceritakan ECI bukan juga karena rumahnya tidak lebih besar kandang sapi.

ECI adalah ECI. Bagi saya, ia sosok yang jauh lebih berharga dari 1000 ekor sapi. Baiklah, saya akan memulai..

Jum'at pagi. Hujan deras mengguyur kota Nanga Bulik dari dini hari. Alam sedang mandi. Hujan sedang  menari. Kami bergegas dari sekretariat BAN PAUD PNF Kabaupaten Lamandau untuk berangkat visitasi. 

Hari itu, kami berangkat ke lembaga yang tidak dapat kami hubungi. Baik lewat WHATSAPPS, FACEBOOK, IG, SMS, Telpon dan bahkan Telepati. Kami tahu, tempat-tempat yang kami kunjungi adalah desa terpencil. Kami berangkat bermodal niat. Kami berangkat dengan menggenggam keyakinan.

Singkat cerita, sampailah kami di Desa Ginih. Sebuah desa kecil di Kec. Batang Kawa dengan jumlah penduduk tak lebih dari 100 KK. Dengan hati yang riang, kami langsung menuju ke TK tak berpapan nama, sebuah gedung sekolah kecil yang banyak sapinya, tepat di samping toilet desa yang gagah dan mewah. 

Sekolah kosong. Hari hujan. Anak-anak masih terlelap. Para orangtua duduk di pintu jendela sambil memanjatkan doa. Lalu kami bertanya, dimanakah gerangan rumah sang guru Kepala TK?

Dengan petunjuk dari beberapa ibu muda di kampung, sampaikah kami di sebuah gubuk kecil, berdinding kayu. Rumah kecil, yang mungkin akan roboh jika seluruh rombongan kami bersama-sama meniupnya dari jarak 1 atau 2 meter. Kami mengetuk pintu. 2 kali. Tidak ada jawaban. Kami ketuk lagi 3 kali. 

Belum ada jawaban. Kami berbalik, pintu terbuka. Muncul seorang ibu muda, dengan rambut pendek lurus, muka tirus dan mata ramah menyapa. Dugaan saya, ia baru saja menidurkan dan menyusui anaknya. Kain daster belahan rendah yang dia kenakan belum sempat dirapikan saat kami datang. Mungkin ia tidak sempat. Mungkin juga dia lupa. 

Dialah si ECI. Si guru TK yang setia mengabdi. Ketika mendengar kabar bahwa kami akan melakukan visitasi, bergegas dia memanggil suaminya. Bergantian menjaga si kecil supaya tidak terjaga. Berlari-lari kecil menuju TK. Ditinggalkannya rumah mungil yang melindunginya dari hujan. Dibukakanlah pintu sekolah tempat ia berjuang untuk kami.

Sekolah kecil, dengan murid hanya segelintir. Tidak ada dana BOP. Tidak ada meja kursi. Hanya ada alas tikar lusuh yang dia punya. Terhampar di bawah papan tulis kecil di depan sebuah meja usang. Sekolah ECI kotor, sepertinya beberapa hari tidak disapu. Perlengkapan permainan seadanya tersusun rapi di pojok ruang. 

Karena hujan, siswa tidak datang. Kami bertanya tentang berkas pembelajaran, dia jawab tidak ada. Kami bertanya tentang data siswa, dia katakan Dinas Pendidikan sudah mengambil satu-satunya yang mereka punya. Kami bertanya tentang administrasi sekolah, dia bilang bahwa semua di simpan di kepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun