Mohon tunggu...
Pangeran Mns
Pangeran Mns Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hadirnya BPIP Tak Mampu Menjawab Persoalan Rakyat

5 Juni 2018   13:51 Diperbarui: 5 Juni 2018   14:20 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah hutang luar negeri yang semakin membengkak, kemiskinan rakyat yang tak kunjung usai, nilai tukar rupiah terhadap USD yang masih lemah dan daya beli masyarakat yang menurun, Pemerintah indonesia justru menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Total hak keuangan dari seluruh pihak yang ada dalam struktur BPIP bisa mencapai Miliyaran Rupiah/bulannya.

Pemerintah dalam hal ini menilai bahwa angka pengeluaran negara yang digelontorkan untuk membiayai seluruh pihak yang ada dalam BPIP sebagai suatu hal yang wajar. Hal ini didasarkan pada pandangan pemerintah dalam melihat tanggungjawab dan kerja BPIP yang dianggapnya sulit serta posisinya yang strategis karena setingkat dengan kementerian.

BPIP memiliki tugas yang tertuang dalam BAB III pasal 3 dan 4 yang intisarinya adalah bahwa BPIP harus mampu menjadi navigator pemerintah dalam hal menciptakan suatu kebijakan dan juga BPIP harus mampu mensosisalisasikan ideologi Pancasila ke generasi muda melalui instrumen Pendidikan.

Jika dilihat dari realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara kita hari-hari ini, Sebenarnya, tugas pokok dan fungsi BPIP tidaklah mampu menjawab persoalan kehidupan rakyat yang masih banyak diantaranya hanya berpenghasilan Rp.11.000/hari. Alasan mendasar mengapa BPIP tidaklah efektif dan efisien untuk menjawab permasalahan kerakyatan adalah karena fungsi dari BPIP bukanlah sebagai suatu badan independen yang bertugas untuk mendorong pemerintah mengimplemtasikan butir-butir nilai yang ada dalam Pancasila.

Secara harafiah, kata "PEMBINAAN" dalam BPIP bermakna suatu perbuatan membina dimana sifat dan karakteristik dalam membina tidak bersifat instruksional dan harus langsung dijalankan, melainkan bersifat optional dan arahan. Dalam hal ini BPIP tidak memiliki wewenang untuk memaksa atauapun mendorong pemerintah dalam rangka mengimplementasikan Pancasila secara nyata dan utuh.

Oleh karena itu wajar saja bila tidak ada satu kalimat pun di dalam pasal 3 ataupun 4 yang secara eksplisit ( jelas dan terang ) menunjukan tugas BPIP sebagai pihak yang berhak dan berwenang bahkan memiliki kekuatan untuk memposisikan pemerintah agar berpegang teguh pada Pancasila melalui kebijakan-kebijakan yang pro kepada rakyat, bukan kepada asing seperti sekarang ini.

Oleh karena itu, BPIP dapat dikategorikan sebagai produk gagal dari hasil kedangkalan berfikir pemerintah dalam melihat substansi permasalahan di indonesia. Yang lebih menyedihkan lagi, pemerintah saat ini seperti sedang berupaya membangun opini publik dengan mengkampenyakan bahwa kehadiran BPIP adalah sebagai obat penangkal terorisme atau radikal yang hendak mengganti ideologi Pancasila.

Sangat ironis, Pancasila yang begitu luhur dan agung sebagai falsafah juga sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hanya dijadikan sebagai alat untuk sosialisasi suatu paham anti-pancasila layaknya iklan di seleberan yang bernilai rendah. Selain itu, perlu disadari juga bahwa Pemerintah kerap kali "memframing" fanatisme agama dan primordialisme sebagai faktor utama dan menjadi penyebab lahirnya kelompok terorisme yang ada di indonesia.

Secara tersirat, Pemerintah hari ini ingin memberikan gambaran kepada khalayak publik melalui media massa yang dikuasainya bahwa bukanlah "KEMISKINAN" yang menjadi permasalahan fundamental bangsa dan negara indonesia, melainkan "TERORISME" atau "KELOMPOK RADIKAL" yang dianggapnya berupaya ingin menerapkan ideologi selain Pancasila..

Pemerintah berkamuflase, bahwa sebenarnya embrio dari terorisme atau kelompok separatis adalah kemiskinan. Rumor yang selama ini masuk ke dalam pergaulan hidup sehar-hari mengenai terorisme berkaitan dengan fanatisme agama adalah suatu kebohongan. Karena bom bunuh diri yang selama ini terjadi di berbagai wilayah indonesia pada dasarnya tidak dibenarkan oleh ajaran agama manapun khususnya islam.

Permasalahan isi perut menjadi persoalan hidup dan mati yang dapat memberikan dampak psikologis serta emosional kepada seseorang sehingga seseorang itu dapat melakukan hal apa saja sebagai bentuk protes terhadap kekuasaan yang tak adil.

Revolusi di Tunisia telah menjadi bukti nyata bagaimana seorang pumada penjual buah bernama Mohamed Bouazizi dengan sengaja menyirami dirinya dengan bensin lalu membakarnya sebagai suatu bentuk ekspresi kekecewaan, amarah dan keputus-asaan dalam menjalani hidup yang amat sulit di rezim yang anti rakyat kecil.

Secara ringkas, kemiskinan menjadi embrio bagi lahirnya kelompok radikal ataupun terorisme tak terkecuali di indonesia. Kembali kepada pokok pembahasan, bahwa BPIP dinilai oleh pemerintah sebagai anti-tesa atas urgency sosial politik bangsa dan negara indonesia dalam menghadapi paham yang konon sedang diperjuangkan oleh kelompok tertentu untuk mengganti Pancasila.

Isu tentang terorisme dikemas dengan amat baik oleh kampanye yang agitatif dan disiarkan oleh hampir seluruh media massa dan memberikan keresahan kepada rakyat. Negara seakan sengaja memberikan rasa takut kepada rakyatnya dengan merekayasa hal-hal yang dinilai dapat menghancurkan pamor dan citra pemerintah di hadapan rakyatnya.

Ketika seseorang yang miskin dan belum makan diberikan dongeng tentang sesuatu yang dapat mengancam jiwanya maka secara naluriah orang tersebut akan melupakannya atau minimal tidak memikirkannya untuk beberapa saat dan lebih mementingkan keselamatan jiwanya dari sekedar kelaparan yang menimpanya.

Dan itulah yang dilakukan oleh negara hari ini, menciptakan BPIP, menggajih seluruh pihak dalam struktur dengan menghabiskan uang negara sebesar milyaran rupiah tiap bulannya dan tugas pokok fungsi badan ini tidak lain dan tidak bukan hanya sebatas untuk mengkampanyekan BPIP sebagai badan pembinaan untuk mensosialisasikan ideologi Pancasila yang konon sedang dalam ancaman kelompok radikal.

Seharunya pemerintah mampu berfikir lebih jauh dan lebih luas lagi, bahwa Pancasila bukan sebatas alat untuk membasmi ideologi lain tapi juga sebagai tools of social engineering, sebagai senjata untuk menghancurkan kesenjangan sosial, bara untuk membakar semangat persatuan, halilintar untuk meluluhlantahkan neo-kolonialisme dan imprealisme dan beliung untuk meniupkan semangat sosialisme yang mana semuanya itu dilakukan dengan berlandaskan pada nilai-nilai ke-Tuhanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun