Diam dan sunyi, kemunculannya sering tidak kita sadari namun sudah terbukti keganasannya dalam merenggut nyawa. Kanker menjadi salah satu penyakit tidak menular yang dipicu oleh banyak sebab, seperti faktor gen, pola hidup atau gaya hidup, makanan yang biasa dikonsumsi, juga bisa disebabkan paparan radiasi. Dari banyaknya faktor penyebab kanker yang tanpa kita sadari meliputi kehidupan kita sehari-hari, kanker menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia yang mencapai 9,6 juta per tahunnya. Indonesia sendiri menjadi negara urutan ke-8 di Asia Tenggara dengan angka kematian 136 dari 100.000 per tahunnya akibat kanker. Angka yang tinggi ini didominasi dengan banyaknya jumlah penderita kanker payudara, yaitu mencapai 0,5% pada tahun 2013 meningkat hingga 17% dari seluruh kasus di tahun  2020 dan kanker serviks yang mencapai 0,8% di tahun 2013 yang kini menyentuh 17,2% dari seluruh kasus di tahun 2020.
Selama ini, pengobatan kanker di Indonesia dilakukan dengan proses terapi obat yaitu kemoterapi dan pembedahan. Sayangnya, beberapa kanker tidak dapat diangkat atau diobati dengan hanya pembedahan, beberapa dikarenakan posisi tumor dan metastase atau penyebarannya yang sudah menjalar ke jaringan atau organ tubuh lain. Dalam beberapa kasus, diperlukan terapi tambahan atau terapi pendamping, seperti kemoterapi. Dari banyaknya kasus kanker di Indonesia, 50% dari kasus dan penderita memerlukan radioterapi, yaitu teknik pengobatan kanker dan tumor yang menggunakan sinar pengion sebagai terapi utama sebelum dan/atau sesudah menjalani terapi obat yaitu kemoterapi. Beberapa kasus kanker yang mendominasi di indonesia seperti kanker payudara dan kanker serviks dengan tingkat stadium tertentu memerlukan terapi radiasi atau radioterapi.
Sayangnya, ketentuan dan kebijakan layanan pengobatan kanker dan terapi seperti operasi atau pembedahan, kemoterapi hanya tersedia di rumah sakit dengan tipe dan tingkat akreditasi tertentu, terlebih untuk terapi radiasi hanya tersedia di beberapa rumah sakit umum daerah tingkat provinsi atau di beberapa rumah sakit tipe A yang berstatus sebagai rumah sakit tempat rujukan tertinggi atau top referral hospital.Â
Ketentuan layanan ini tentu disebabkan terbatasnya alat LINAC (Linear Accelerator) yakni alat atau pesawat yang digunakan untuk mematikan sel tumor maupun kanker dalam pengobatan radioterapi melalui gelombang elektromagnetik yang dipancarkan. Saat ini, di Indonesia hanya tersedia 55 LINAC dengan sebaran terbanyak di pulau Jawa, kemudian Sumatera. Hanya tersedia satu unit di pulau Kalimantan dan satu lagi di Papua.
Terbatasnya alat yang juga hanya tersedia di rumah sakit tertentu ini dan banyaknya rujukan pasien dari rumah sakit daerah maupun swasta yang ke rumah sakit tipe A. Karena statusnya sebagai rumah sakit dengan tempat rujukan tertinggi, rumah sakit dengan tipe A ini tentu menerima layanan untuk pengguna BPJS di setiap polinya. Maka tidak heran jika berakibatkan semakin menumpuknya daftar antrian pasien BPJS di poli radioterapi.
Biaya terapi kanker, terutama radioterapi tentu tidak memakan biaya yang sedikit. Ada prosedur panjang yang harus dijalani sebelum menjalankan terapi yang memakan banyak waktu dan biaya. Pemeriksaan awal yang meliputi diagnosa jenis kanker, tingkat stadium kanker serta dimana posisi kanker tersebut dalam tubuh pasien. Pemeriksaan awal ini biasa dilakukan di bawah pengawasan poli penyakit dalam. Apabila kondisi pasien tidak urgent dalam artian masih bisa menjalani terapi obat atau kemoterapi, maka pasien akan menjalani kemoterapi terlebih dahulu dan melakukan evaluasi setelah terapi selesai. Apabila setelah melakukan pemeriksaan awal dan ternyata kondisi pasien membutuhkan terapi radiasi segera, maka pasien baru akan dirujuk ke poli radioterapi. Prosedur ini bertujuan untuk meminimalisir membludaknya antrian radiasi.
Setelah menjalani prosedur awal pemeriksaan, pasien akan diminta menunggu 6 sampai 8 bulan tergantung dengan tingkat urgensi dan stadium pasien untuk menjalani prosedur CT Simulator, yaitu prosedur ‘pengukuran’ atau penandaan menggunakan alat CT. Prosedur ini bertujuan untuk melihat letak pasti suatu kanker dengan detail sehingga saat proses terapi sinar dapat dipastikan tidak mengenai organ tubuh atau sel baik lainnya, dan hanya sel kanker yang terkena paparan radiasi. Pada prosedur CT Simulator juga dilakukan perencanaan dan penghitungan dosis obat sesuai dengan ukuran, jenis dan letak kanker serta banyaknya pasien harus menjalani terapi dalam satu siklus. Normalnya satu siklus radiasi terdiri dari 20-35 kali sinar.
Jika titik area radiasi sudah ditentukan, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan topeng untuk pasien yang memakan waktu 2 minggu hingga satu bulan setelah menjalani CT Simulator. Namun perlu diketahui, pembuatan topeng ini hanya digunakan untuk pasien dengan jenis dan letak tumor tertentu. Pasien dengan tumor yang berada di sekitar area dada ke atas seperti kepala dan leher, diperlukan pembuatan topeng untuk digunakan saat proses radiasi yang bertujuan untuk melindungi area vital di daerah kepala pasien. Jika area yang akan diradiasi dan letak tumor berada di sekitar area dada ke bawah, pasien tidak perlu menjalani prosedur pembuatan topeng. Setelah itu, pasien baru bisa menjalani terapi radiasi seminggu setelah prosedur terakhir. Pasien akan diberi jadwal jam terapi serta lokasi ruang LINAC. Tahap terakhir yang harus dijalani pasien setelah menjalani keseluruhan terapi radiasi adalah evaluasi oleh dokter dengan kontrol rutin di poli radioterapi.Â
Dari keseluruhan prosedur mulai dari  tahap diagnosa hingga tahap evaluasi, prosesnya dapat memakan waktu hingga satu tahun untuk pasien BPJS. Karena biaya yang sangat mahal, pasien dengan kelas ekonomi menengah ke bawah umumnya akan memilih menunggu kurang lebih 6 sampai 8 bulan untuk ‘dipanggil’ dari antrian dan menjalani prosedur CT Simulator dan tahapan-tahapan berikutnya. Beberapa pasien dengan ekonomi menengah ke atas atau pasien yang tidak ingin menunggu terlalu lama, akan memilih jalur non-BPJS yang tentunya seluruh biaya sesuai dengan prosedur awal hingga akhir ditanggung sendiri.
Dari hasil rekap wawancara dengan pasien poli radioterapi RSUD Dr. Soetomo Surabaya jalur non-BPJS, dengan kanker Lymphoma, didapati informasi biaya sebagai berikut :Â
CT Scan : 10 juta rupiah
Pembuatan topeng : 4 juta rupiah
CT Simulator : 3 juta rupiah
1 kali sinar : 2 juta rupiah. 35 kali sinar = 2 juta rupiah x 35 = 70 juta rupiah
Harga tersebut adalah harga yang dipatok oleh RSUD Dr. Soetomo yang dikategorikan rumah sakit negeri sehingga  harga yang diberikan tidak semahal rumah sakit swasta. Sayangnya, meskipun biaya sudah ditanggung sendiri, pasien non-BPJS tetap akan diminta menunggu kurang lebih 3 sampai 5 bulan agar dapat menjalani prosedur CT Simulator.
Sangat disayangkan penderita kanker harus menunggu berbulan-bulan bahkan mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk biaya pengobatan. Sangat diharapkan peran pemerintah dalam menyediakan alat yang cukup dan memadai untuk layanan kesehatan masyarakat terutama masyarakat di luar pulau Jawa. Selain pemerintah, diperlukan juga peran dan kesadaran masyarakat dalam memperluas sosialisasi bahaya kanker dan solusi pencegahan kanker dini. Sehingga Indonesia dapat siap dan siaga dalam menghadapi bahaya kanker.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H