Akan menjadi sesuatu yang tidak logis dan menjadi pertanyaan besar, ketika manusia setiap hari mencerna Yesus dengan menunjukkan hidup yang terlihat saleh, namun tidak ada aroma atau dampak apapun yang diterima oleh sekitarnya. Pertanyaannya, benarkah kita memakan, menikmati, dan mencerna Yesus atau sekedar berpura-pura? Tentu kita yang sudah menikmati Tuhan Yesus Sang Sumber Hikmat Kebijaksanaan, seharusnya bisa menjalani hidup dengan dipimpin hikmat kebijaksanaan Tuhan.
Oleh sebab itu, sebagai umat yang sudah menerima, menikmati, dan mencerna Yesus, maka dalam perjalanan kehidupan kita senantiasa menggunakan akal budi dan hati yang bersih untuk membedakan hal yang baik dan buruk. Termasuk membedakan antara fakta dan hoax yang sering kita temui baik di televisi, media sosial, dan lain sebagainya. Mari kita menjadi jemaat yang cerdas dan bijaksana dalam menanggapi berita-berita yang ada di sekitar kita.
Selain itu, umat yang sudah menerima, menikmati, dan mencerna Kristus Sang Roti Hidup akan memahami bagaimana bertutur kata dan bertindak dengan penuh hikmat kebijaksanaan terhadap orang-orang di sekitar. Hal ini dilakukan agar setiap tutur kata dan perbuatan kita tidak menyakiti orang lain, melainkan menjadi berkat bagi orang lain. Bukan melemahkan orang lain, melainkan menguatkan orang lain. Bukan membuat orang lain bersedih, melainkan bersukacita.
Ketiga, orang-orang Yahudi menunjukkan sikap yang tergesa-gesa dan hanya memikirkan kebutuhan jasmani dalam memahami Yesus. Mereka berpikir, bagaimana mungkin seseorang memberikan dirinya untuk dimakan agar setiap orang mendapatkan hidup kekal? Sesuatu yang tidak logis dan tentunya sangat tidak wajar. Hal yang aneh ini membuat orang-orang yang berada di situ heran dan menjadi ribut.Â
Apa yang dikatakan pada ayat 52 dapat disimpulkan bahwa Tuhan Yesus dianggap sesat dan kanibal oleh orang-orang Yahudi yang ada di situ. Dalam adat istiadat Yahudi, minum darah hewan saja tidak diperbolehkan, apalagi minum darah dan makan daging manusia. Tentu hal ini dianggap sadis.
Kegagalan dalam memahami Yesus sebagai Roti Hidup pada masa itu disebabkan karena orang-orang Yahudi berada di bawah tekanan penjajahan Romawi. Dimana ketertindasan dan kesulitan-kesulitan ada dalam kehidupan mereka. Mereka tertindas dan mengalami kesulitan untuk lepas dari penjajahan, mendapat keadilan, bahkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sehari-hari.
Hal ini juga sering kita jumpai dalam kehidupan keseharian kita. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita seringkali juga tergesa-gesa dalam memahami Yesus. Terlebih ketika kita ada dalam kesulitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Kita akan menganggap bahwa Firman Tuhan adalah sesuatu yang omong kosong.
Penutup
Mari dalam rangka menghayati bulan kebangsaan ini kita senantiasa menjadikan Yesus Sang Roti hidup sebagai makanan pokok dalam kehidupan kita, agar kita senantiasa dipenuhi dan dipimpin hikmat kebijaksanaan Tuhan dalam menentukan sikap hidup. Tetaplah setia dan taat kepada Tuhan dalam kondisi apapun. Jangan biarkan kesulitan-kesulitan hidup membuat kita gagal dalam memahami Kristus yang penuh kasih dan berkat. Roh Kudus senantiasa menuntun kita kini dan selamanya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H