Perusahaan Listrik Negara atau yang biasa kita kenal dengan PT PLN (persero) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan kajian untuk melakukan percepatan penghentian operasional dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam rangka percepatan transisi energi dalam menuju Net Zero Emission di tahun 2060. Direktur Utama PT PLN (persero) Darmawan Peasodjo mengatakan dalam mepensiunkan PLTU, PLN perlu melakukan beberapa tahap.
Pertama, hingga tahun 2030 mendatang PLN akan mempensiunkan sekitar 5,5 GW PLTU. Kedua, Pada tahun 2040 PLN akan mempensiunkan PLTU subcritical sebesar 10 gigawatt (GW). Ketiga, pada akhirnya PLTU berjenis subcritical sebesar 18 GW dan supercritical 7 GW juga akan dipensiunkan pada tahun 2050. Pertanyaannya sekarang adalah apakah dengan mempensiunkan PLTU merupakan langkah yang benar? atau ternyata salah langkah? Karena, Indonesia sendiri masih sangat mengandalkan pembangkit listrik yang berasal dari tenaga uap ini sebagai energi base load yang ada di Indonesia.
Persoalan yang lain adalah sejumlah PLTU yang beroperasi pada saat ini dan hingga seluruh PLTU dalam proyek 35 GW selesai dan tidak sepenuhnya dioperasikan oleh PLN. Hampir sekitar setengah dari PLTU yang ada dibangun dan dioperasikan oleh IPP (Independent Power Producer).Â
Dirut PLN Darmawan Prasodjo juga mengatakan bahwa saat ini PLN dan pemerintah sedang berdiskusi terkait dengan rencana untuk mempercepat pensiunnya beberapa PLTU. Ada beberapa PLTU yang masa kontraknya akan habis di tahun 2056 dan sedang dicari skema bersama pemerintah untuk bisa mempercepat pensiunnya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana juga mengalami hal yang sama. Saat ini pemerintah dan PLN sedang melakukan kajian kemungkinan adanya early retairment bagi PLTU yang akan habis masa kontraknya di tahun 2054 -- 2056 mendatang. Dadan mengucapkan, sejatinya PLTU yang sudah habis kontrak maka harus dikembalikan kepada pemerintah dalam mengambil keputusan untuk menghentikan operasionalnya.
Terdapat juga beberapa strategi yang disiapkan pemerintah Indonesia dalam transisi energi, antara lain adalah transisi energi harus disesuaikan dengan kapasitas dan keadaan masing-masing negara. Lalu, teknologi rendah emisi yang inovatif seperti teknologi CCS/CCUS dalam beberapa hal dapat diterapkan pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang ada untuk mempercepat pengurangan emisi, sambil juga beralih ke energi yang lebih bersih dan hijau. Terakhir, kerja sama dengan negara-negara ASEAN dalam mengembangkan jalur transisi energi yang saling terhubung perlu lebih digalakkan.
Berdasarkan dari analisis Institute for Essential Services Reform (IESR), terdapat dua kebijakan untuk menekan emisi dari PLTU berbahan fosil agar sesuai dengan persetujuan Paris. Diantaranya antara lain adalah melakukan moratorium PLTU dan mempensiunkan PLTU dari umur pakainya yang biasanya 30 tahun menjadi 20 tahun. Dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut juga perlu peta jalan yang optimal untuk menekan biaya dan dampak yang timbul serendah-rendahnya. Hal tersebut dapat bersandar pada data dan analisis yang mendalam dilakukan untuk setiap unit PLTU yang ada di Indonesia.
Ada banyak strategi yang juga bisa dipertimbangkan dalam menyusun peta jalan untuk mempensiunkan PLTU batu bara. Diantaranya adalah dengan melakukan pengalihan pendanaan dan investasi ke energi terbarukan, melakukan peralihan tujuan (repurposing) dan memodifikasi (retrofitting) PLTU. Sehingga, pada saat ini pusat keunggulan PLN merespon RUPTL dan juga menyiapkan peta jalan dekarbonisasi dengan melakukan berbagai kajian dan menganalisa data PLTU batu bara di Indonesia.
Fabby Tumiwa, sebagai ketua umum dari AESI (Asosiasi Energi Surya Indonesia) juga menyampaikan bahwa menilai upaya untuk memensiunkan PLTU batu bara harus benar-benar dilakukan, bahkan tidak hanya 5,5 GW. Namun paling tidak sekitar 12 GW sampai dengan 2030. Menurutnya, ini harus segera dilakukan supaya tidak menjadi asset yang terbuang sia-sia.
Selain itu, PLN dinilai harus memberikan kesempatan untuk berbagai industri dan masyarakat untuk gotong royong dalam energi terbarukan, khususnya PLTS dengan teknologi yang mudah diakses dan andal.Â
Jokowi juga meminta partisipasi aktif dari kalangan pelaku usaha dalam mendukung percepatan transformasi energi baru dan terbarukan di Indonesia. Khusunya, yang terkait dengan penyediaan energi yang lebih ramah lingkungan melalui kegiatan investasi.
Sehingga, saat ini mempensiunkan pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil masih menjadi perbincangan yang sangat panas. Sehingga banyak terjadi pro dan kontra dari mempensiunkan PLTU ini.Â
Disisi lain, Indonesia masih sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap dengan bahan bakar batu bara. Tetapi, disisi lain juga, krisis iklim sudah semakin terasa. Sehingga negara-negara di dunia berkomitmen untuk melakukan transisi energi dan menjaga kestabilan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius. Jika begini, apakah mempensiunkan menjadi langkah yang tepat? Atau malah salah langkah dan terjebak. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H