Mohon tunggu...
Pandu Lanang Turonggo Jati
Pandu Lanang Turonggo Jati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Renewable Energy Enthusiast

Electrical Engineering Student

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sudah Sejauh Apakah Perkembangan Panel Surya di Indonesia?

8 Maret 2022   08:06 Diperbarui: 8 Maret 2022   08:11 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan pembangkit listrik yang memanfaatkan cahaya matahari untuk dirubah menjadi energi listrik. Pemanfaatan penggunaan energi surya di berbagai sektor kini terasa semakin masif. Pasar rumah tangga dan industri juga sudah mulai melirik penghematan yang bisa didapatkan dari instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di rumah atau di suatu industri. Begitupun dengan sektor komersial, pasarnya sudah mulai merambah dari perusahaan lokal hingga perusahaan multinasional di berbagai pelosok daerah. Efisiensi dari pemakaian pembangkit listrik tenaga surya atap menjadi salah satu perhatian konsumen rumahan atau perusahaan yang ingin menghemat listrik dengan menggunakan energi bersih dan juga dengan pemeliharaan yang tidak mahal.

Selain dari faktor efisiensi terhadap biaya listrik serta semangat demokratis energi masa depan, instalasi PLTS atap diyakini dapat berkontribusi nyata atas penguragan dampak perubahan iklim dan dukungan pemerintah dalam mewujudkan Indonesia Nol Emisi Karbon di tahun 2060. Tetapi, pengembangan produksi dari panel surya atau yang biasa disebut dengan photovoltaic masih sangat sedikit, bahkan belum ada perkembangan sama sekali. Disini dibutuhkan dukungan pemerintah untuk terus mendorong research and Development terkait dengan photovoltaic ini. Bagaimana caranya agar bisa mendapatkan panel surya dengan harga ekonomis dan dengan efisiensi yang maksimal.

Di tengah krisis iklim yang semakin hari semakin parah ini, para peneliti fokus mencari solusi untuk menghadirkan sumber energi yang bersih dan bisa mengurangi dampak dari krisis iklim. Tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga murah dan bisa dijangkau oleh masyarakat menengah kebawah. Hal itulah yang coba dilakukan oleh Noor Titan Putri Hartono, peneliti muda MIT asal Indonesia, yang bercita-cita membantu pemerataan akses listrik di tanah air.

Sejak tahun 2016, ia fokus mengembangkan material panel surya yang lebih murah dan lebih efisien. Harga yang mahal dan sulitnya kalangan menengah kebawah dapat menikmati listrik yang bersumber dari energi surya, itulah yang mendorong seorang Titan dalam menekuni penelitiannya tersebut. Pemerataan akses listrik di Indonesia menurutnya bisa banyak terbantu dengan teknologi panel surya. Bukan hanya karena ramah lingkungan saja, tetapi dengan menggunakan panel surya ini, tidak membutuhkan jaringan transmisi dari pulau jawa atau pulau lainnya yang sudah mempunyai jaringan transmisi. Tetapi, kita bisa bangun di pulau tersebut, dengan microgrid. Lalu, orang-orang bisa langsung menikmati listriknya di tempat tersebut.

Titan memulai pencarian material panel surya murah ketika mengambil studi pascasarjana di MIT. Formula perovskite yang stabil lantas menjadi fokus utama Titan. Perovskite sendiri adalah material yang sudah ditemukan sejak abad ke-19. Akan tetapi, jenis Perovskite ini dikembangkan khusus untuk panel surya baru yang diteliti sekitar satu deekade terakhir.

Setelah membuat sekitar 1000 sampel, akhirnya Titan berhasil menciptakan komposisi persovskite yang delapan kali lebih stabil dari sebelumnya. Namun, perjalanan untuk sampai pada tahap produksi massal sebagai bahan utama panel surya masih amat panjang. Penelitian ini belum selesai. Setelah meraih gelar PhD dari MIT pada Juni lalu, Titan berencana melanjutkan kiprahnya ke Jerman untuk terus mencari solusi dari energi terbarukan yang murah dan mudah diakses oleh masyarakat dari berbagai golongan.

Pengembangan material dari panel surya tidak lepas dari adanya dukungan pemerintah dalam mendorong riset dan pengembangan bahan material panel surya tersebut di Indonesia. Jika melihat hasil analisis dari smilling curve pengembangan industri panel surya di Indonsia dan Cina, Indonesia masih sangat berfokus pada component integration, selling, dan juga after service. Sedangkan China menunjukkan smiling curve pada kurva hubungan antara value adding effect dan industry chain. Sehingga, China mampu membentuk lengkungan yang apik dalam kurva pengembangan pembangkit listrik tenaga surya karena keunggulannya di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Pada diagram tersebut dapat disimpulkan bahwa saat ini China dan Taiwan menguasai pasar PV secara global. Walaupun, jika dilihat dari potensinya, padahal Indonesia sendiri mempunyai potensi cahaya matahari yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kedua negara tersebut.

Sehingga perencanaan energi dan peningkatan riset harus terus diupayakan secara serius agar dapat menjamin ketersediaan material utama energi jangka panjang dan dapat dijangkau dari setiap kalangan. Selain itu, ada beberapa aspek peneydiaan yang harus dilaksanakan pada nilai-nilai yang berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun