Mohon tunggu...
Pandu Kurniawan
Pandu Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Ruang yang tepat untuk menuangkan gagasan dalam tulisan. Scribo, ergo sum...!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia Mendegradasi Agama

10 Agustus 2021   16:30 Diperbarui: 10 Agustus 2021   17:20 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sinilah penyalahgunaan agama itu terjadi. Karena masing-masing hanya memikirkan bagaimana tim saya bisa menang dari mereka, bukan pada semangat dan menikmati permainannya. Cara pandang inilah yang harus dibongkar guna menghindarkan penyalahgunaan agama. Semangat kerja sama, memahami antar tim, dan kompak dalam tim tetap diperlukan namun jangan sampai semangat itu mengarahkan pada tim yang eksklusif, melainkan harus inklusif. 

Terbuka. Tim yang eksklusif membuat bobotoh (sebutan supporter Persib Bandung) selalu berseteru dengan The Jak (sebutan untuk supporter Persija). Tidak ada alasan jelas mengapa itu terjadi. Namun, yang pasti bahwa semangat mereka diguncang oleh kekalahan sehingga tergoda untuk menciptakan keributan yang akhirnya menciptakan kerusakan dan korban. 

Semangat eksklusifitas selalu bertendensi melindungi diri, dalam agama bisa diartikan menjaga otentisitas ajaran atau nilai-nilai yang mereka anut. Dalam hal ini, manusia juga dituntut untuk mampu menafsir secara baik dan benar terhadap otentisitas dan nilai ajaran agama tersebut. Apa yang ditafsir adalah teks. Teks sendiri merupakan tafsiran atas pengalaman. 

Jika pengalaman hidup religius multifaset, maka tafsiran pun akan beragam. Kerap kali, sesuatu yang berbeda atau baru akan sulit diterima, terlebih jika tidak sesuai dengan tafsiran masing-masing individu atau suatu kelompok. Makna suatu teks terlalu kaya untuk ditafisr (multitafsir) sebagai suatu kebenaran yang absolut. Charles Taylor dalam Theory of Meaning, mengatakan bahwa manusia hidup dalam pelukan banyak makna. Haram hukumnya jika suatu makna atas teks direduksi seenaknya oleh oknum yang merasa suci.

Apabila makna dalam sebuah teks itu sangat kaya, pertanyaan besar untuk kita ialah siapa yang tersembunyi dibalik teks itu? Menurut saya tak lain adalah “Yang Maha” tadi, Yang Transenden, agama menyederhanakannya sebagai Tuhan. Tuhan terlalu besar untuk dipahami. Tuhan terlalu jauh untuk dijangkau. Tuhan terlalu licin untuk ditangkap. Tuhan terlalu rumit untuk diuraikan. Tuhan terlalu kaya untuk direduksi dalam satu agama saja. 

Dengan demikian, percuma untuk menggambarkan pengalaman keber-Tuhanan dengan satu tafsiran, dengan satu semangat, dengan satu permainan, dengan satu peraturan saja. Hal ini mengajak kita untuk mau melihat bahwa perbedaan dalam suatu kehidupan plural layak diterima sebagai sarana untuk menyingkap satu ruang misteri yang jauh dari keniscayaan untuk diungkap, yaitu Tuhan.

Maka dengan semangat Tahun baru Islam 1 Muharram 1443 Hijirah yang kita lewati ini, baiklah kita menjunjung tinggi semangat inklusifitas. Terbuka terhadap ”yang lain” (Liyan). Menerima terhadap perbedaan. Menghormati agama dan pemeluk agama lain. Mengubah cara pandang kita bahwa apa yang dituntut dari sebuah permainan bukanlah kemenangan belaka, melainkan sebuah kepuasan bisa bermain bersama-sama, semangat kerjasama dalam tim, dan menikmati pengalaman bermain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun