Hermeneutika berasal dari kisah mitologi Yunani. Diambil dari kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas sebagai pembawa pesan. Ia adalah utusan para dewa dalam mitologi Yunani. Hermes adalah dewa yang fasih dalam berkata-kata. Ia adalah seorang putra dari dewa Zeus dan Maya. Hermes menjadi penghubung komunikasi antara manusia dan dewa.
KataPerkataan Hermes adalah perkataan yang bertegangan, antara kebenaran dan kebohongan. Hermes memang bersumpah untuk tidak berdusta meskipun ada catatan ia pun tidak berjanji bisa mengungkapkan kebenaran secara sempurna.
Dengan demikian, hermeneutika ala mitologi Yunani adalah upaya mendapatkan kebenaran hakiki melalui ucapan-ucapan Hermes yang sifatnya sangat terbatas dan tidak mutlak kebenarannya. Hermeneutika di kemudian hari berkembang lewat para pemikir pada zamannya. Berikut pandangan beberapa filsuf mengenai Hermeneutika.
Hermeneutika menurut Schleirmacher (Metode Gramatikal dan Psikologi)
Hermeneutika adalah usaha memahami teks lewat aturan-aturan sintaksis/gramatikal bahasa dan melalui maksud batin pengarang lewat kebebasan pikiran dan imajinasi-intuisi kita sebagai penafsir. Hermeneutika ala Schleirmacher ditandai dengan dua hubungan antara kritis(gramatikal) dan romantis(psikologi). Kritis yaitu dengan mengelaborasi kaidah atau aturan-aturan sintaksis bahasa dalam teks.
Romantis yaitu hubungannya dengan muatan batin individual si pengarang. Kita tidak boleh hanya menjelaskan kata-kata dan pokok permasalahan dalam teks saja, melainkan juga rohaniah si pengarang.
Penafsir bisa menempatkan diri sebagai pengarang. Dengan demikian, kita dapat mengetahui maksud pengarang, bahkan melebihi pemahaman pengarang itu sendiri mengenai teks. Pendeknya, menurut Schleirmacher, tugas hermeneutik bisa diformulasikan sebagai memahami suatu teks adalah memahami sebaik dan bahkan lebih baik dari pengarangnya.
Hermeneutika ala Dilthey (Metode Verstehen)
Hermeneutika adalah pertemuan dengan pengetahuan sejarah universal, sebuah universalisasi individu. Dalam hal ini, Dilthey masih mempertahankan dimensi psikologi hermeneutika dari gurunya (Schleirmacher) : memahami suatu teks dengan memposisikan diri sebagai pengarang. Meletakkan pemahaman terhadap teks di bawah pemahaman orang lain (pengarang) yang mengungkapkan dirinya di sana.
Hanya saja, lebih daripada Schleirmacher, Dilthey mereproduksi dan mengkonstruksinya dengan menafsirkan tanda-tanda yang obyektif berdasarkan struktur esensial teks. Interpretasi bukan semata-mata apa yang dikatakan teks, akan tetapi siapa yang mengatakannya. Ada pergeseran dari teks kepada pengalaman hidup yang tercermin di sana. Seluruh pengetahuan tentang diri sendiri diperantarai oleh tanda dan kerja dalam pengalaman (epistemologi).
Hermeneutika dari sudut pandang Heiddeger (Fenomenologi)
Hermeneutika adalah sebuah cara memahami teks dengan meng-eksplisit-kan makna-makna yang tersembunyi (implisit) dalam teks. Mencari noumena di balik fenomena. Memahami sebuah teks sama saja melakukan suatu eksplisitasi eksistensi Dasein dari kekaburannya. Suatu interpretasi tentang ‘yang ada’. Hermeneutika bukanlah refleksi tentang ilmu-ilmu kemanusiaan, melainkan tentang landasan ontologisnya.
Ontologi pemahaman bermula dari refleksi mengenai ‘mengda-dalam’ (being-in) daripada ‘mengada-dengan’ (being-with), bukan ‘mengada-dengan orang lain’ melainkan ‘mengada-dalam-dunia’ (being-in-world).
Fokus hermeneutika ala Heiddeger yaitu lewat bahasa. Bahasa adalah cara makna ‘Ada’ tampil,namun sekaligus juga tersembunyi. “Language is the house of Being”. Bahsa adalah cara kita memahami realitas, dan cara realitas menampilkan diri kepada kita. Ringkasnya, Hermeneutika tidak lagi sebagai suatu metode memahami teks, melinkan ciri keberadaan ‘Dasein’ yang bertanya tentang keberadaanya dalam dunia.
Hermeneutika-nya Gadamer (Ontologi)
Hermeneutika adalah interpretasi terhadap teks dengan cara menceburkan diri ke dalam teks tersebut. Membiarkan teks yang membimbing pembaca. Pada titik ini, hermeneutika bukan lagi soal intelektual, melainkan soal imajinasi. Dasar pengalaman hermeneutika melalui tiga ranah : ranah estetika, ranah historis, dan ranah bahasa.
Dalam ranah estetika, pengalaman yang bagaiaman dipukau oleh objek yang mendahuluinya, sehingga buka kemungkinan untuk menilai selera secara kritis. ‘Penilaian atas selera’.
Dalam ranah historis, kesadaran yang terbawa oleh tradisi adalah sesuatu yang menggerakkan segala bentuk pengujian metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial. Dalam ranah yang terakhir, bahasa sebagai sarana yang dapat mengakomodasikan suara-suara manusia. Bahasa adalah ‘Ada’ yang bisa dimengerti. “Language is Being that can be understood”
Hermeneutika Paul Ricoeur (Historisitas)
Hermeneutika bertugas untuk membantu pembaca memahami dan menafsirkan teks. Setiap teks memiliki diskursusnya masing-masing. Hermeneutika berusaha untuk merealisasikan diskursus mengenai teks tersebut. Sehingga, konsekuensi untuk penafsiran teks harus melihat beberapa hal, antara lain: Historisitas, artinya melihat konteks asli teks dan siapa yang menulisnya.
Selain itu juga harus melihat konstruksi/struktur teks itu sendiri dengan pertimbangan teori-teori, misalnya: Psikoanalisis, Strukturalisme/Semiotik, Dekonstruksi, dsb. Menafsir selalu berhadapan dengan fenomena, Di dalam teks, ada tulisan. Di balik tulisan, ada bahasa.
Bersamaan dengan bahasa, ada simbol-simbol. Penafsir menempatkan langkah awal sebagai subjek yang belum bersentuhan dengan fenomena. Akan tetapi, tidak mensyaratkan suatu “posisi nol”. Pada saat berhadapan dengan bahasa, penafsir harus waspada. Sebab, sifat bahasa begitu kontekstual (polisemi) dan simbolik. Beberapa pemikir sebelumnya menekankan apa yang didapat dari teks. Istilahnya, apa itu kebenaran. Ricoeur sedikit berbeda dengan mengganti penelusuran what dengan how.
Bukan pengetahuan akan kebenaran yang menjadi parameter, melainkan bagaimana penafsir merasuk ke dalam teks, membaca, memahami simbol dan bentuk-bentuk polisemi exhaustively.
Bagaimana cara menafsir suatu teks diawali dengan sikap kritis akan struktur teks. Mau tidak mau, struktur teks tetap tidak bisa dikesampingkan. Kemudian, penafsir diajak untuk memasuki kesadaran akan simbol atau kode-kode. Setelah itu, barulah meningkatkan kesadaran bahwa ada yang ingin dikatakan di balik teks. Ada kata di balik kata. Makna di balik makna. Namanya, kedalaman makna. Dengan demikian, penafsir sebenarnya agak kurang peduli pada dirinya sendiri dan pengarang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H