Mohon tunggu...
Pandu Wibowo
Pandu Wibowo Mohon Tunggu... -

Peneliti Center for Information and Develpoment Studies Indonesia | Tenaga Ahli Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas | Candidate Magister of Planing and Public Policy in University of Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pers dan Politik: Menumbuhkembangkan Kembali Marwah Idealisme Pers

10 Februari 2016   10:42 Diperbarui: 10 Februari 2016   11:07 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh:

Pandu Wibowo, S.Sos

Pers berperan penting dalam proses penciptaan karakter masyarakat dan mengembangkan wawasan kebangsaan. Di dalam UU Pers No 40 Tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Pers Indonesia dimulai saat dibentuknya Kantor berita ANTARA yang didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Saat rezim Orde Lama, pers juga berperan penting dalam proeses pembangunan opini rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ketika pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, pers terkekang, suara rakyat juga terbungkam, dan pemerintah seolah anti kritik. Namun setelah tumbangnya Orde Baru, menjadi titik balik bagi dunia pers Indonesia untuk berekspresi di era Reformasi.

Kebebasan berpendapat di era Reformasi tentu menjadi peluang pers untuk menjadi penyambung lidah rakyat dalam mengawsi kinerja pemerintah. Pers di era Reformasi seolah menjadi salah satu kekuatan politik di Indonesia, karena dapat mempengaruhi pemikiran serta memoblisasi masa dalam proses tindakan-tindakan politik. Tentu ada plus dan minus, ketika pers sampai memiliki kekuatan seperti ini. Plusnya, dunia politik Indonesia dapat lebih transparan dan terbuka, sehingga rakyat Indonesia dapat menyaksikan kinerja para pemimpin publiknya. Minusnya, terkadang pers dijadikan alat politik untuk meyerang lawan politik, sehingga dapat menciptakan devided (pembelahan) di sosial masyarakat.

Pers dan Politik

Fakta membuktikan, bahwa sekarang banyak politisi yang memiliki media masa untuk dijadikan ladang bisnisnya, sekaligus senjata politiknya. Efek dari kapitalisasi pers oleh para politisi ini adalah, info yang diberikan ke publik tidak utuh, bahkan berat sebelah. Contoh kasus yang dapat kita jadikan referensi adalah ketika Pemilu Presiden RI 2014 kemarin. Dalam Quick Count yang diadakan oleh per-televisian Indonesia bekerjasama dengan lembaga survey, menghasilkan hasil yang berbeda-beda. TV A memberikan hasil Quick Count, pasangan Prabowo-Hatta menang, sedangkan TV B memberikan hasil bahwa pasangan Jokowi-JK lah yang memenangkan Pilpres. Efek dari penyebaran informasi seperti ini yang menyebabkan konflik sosial di taratan masyarakat, terutama pendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Padahal seharusnya pers dapat menyatukan opini masyarakat untuk menciptakan iklim demorkasi yang sehat dan berkemajuan.

Di dalam studi komunikasi politik, teori jarum suntik menjelaskan bahwa ketika pers memberikan berita secara terus menerus kepada masyarakat, maka akan ada perubahan mindset (pola pikir) masyarakat. Oleh karena itu, adanya persatuan pandangan dan perbedaan pandangan ditentukan oleh peran pers dalam memberikan informasi. Harus ada profesionalisme dari seluruh aktor politik Indonesia dalam pemakaian pers. Kapitalisasi pers secara politik harus segera dihilangkan, guna pembangunan demokrasi yang sehat dan maju. Pers seyogianya bukan alat politik, melainkan alat pemberi informasi kepada masyarakat agar masyarakat mendapatkan pendidikan politik yang sehat, juga mengetahui perkembangan pembangunan bangsanya. Jangan sampai ada paradoks demorkasi, dimana fungsi partai politik sebagai pengatur konflik berubah menjadi pencipta konflik karena kapitalisasi pers secara politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun