Mohon tunggu...
Pandu Wibowo
Pandu Wibowo Mohon Tunggu... -

Peneliti Center for Information and Develpoment Studies Indonesia | Tenaga Ahli Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas | Candidate Magister of Planing and Public Policy in University of Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Aliran Masih Ada: Analisis Islam vs Nasionalis Pascareformasi

20 April 2014   18:11 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

Pandu Wibowo
Mahasiswa Ilmu Politik UIN Jakarta
.

Selama sekian dekade, peta politik di Indonesia sulit dilepaskan dari diskursus politik aliran. Inti dari politik aliran yang dicetuskan atau diteoritisasi oleh Clifford Geertz pada sekitar tahun 1950-an hanya berupa kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif. Geertz pada waktu itu membagi tiga politik aliran, dimana ada santri, abangan, dan priayi. Santri adalah masyarakat yang taat beragama dan berpendidikan. Kemdian abangan adalah masyarakat yang tidak terlalu taat dalam beragama. Mereka masih percaya pada leluhur atau nenek moyang. Pembelajaran agama secara mendalam tidak menjadi prospek utama dari masyarakat agama ini. Sedangkan priayi adalah keturunan berdarah biru, dimana strata sosialnya sama seperti bangsawan.

Teroi politik aliran yang dicetuskan Geertz sangat menarik jika kita pakai untuk menganalisis peta politik Indonesia. Pada Orde Lama sangat jelas sekali politik aliran bergulat di Indonesia. Dimana ada Masyumi dan NU (Santri), PNI (Priayi/Abangan), PKI (Abangan). Tapi seiring berjalannya waktu mulai dari Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi ada dari beberapa pengamat mengatakan politik aliran ini telah hilang. Alasannya adalah jika kita masih percaya politik aliran masih bekerja di tingkat grass root, seharusnya kita 'risau' terhadap fakta penurunan suara partai Islam pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009 jika dibandingkan dengan Pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada Pemilu 1955 sebesar 43.7 persen, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7 persen.

Pada Pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8 persen. Pada Pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1 persen. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, suara partai Islam lebih sedikit. Pada Pileg 2009 yang baru lalu, agregat partai Islam anjlok lagi menjadi sekitar 25 persen. Fakta anjloknya suara partai Islam menunjukkan makin kurang relevannya penjelasan politik aliran untuk melihat perilaku pemilih kita. Padahal, data longitudinal Lembaga Survei Indonesia (LSI) sejak 2003 sekarang, juga survei Mershon Ohio State University dan UI (1999) dan PPIM (2001-2002) menunjukkan meningkatnya ketaatan Muslim Indonesia.

Tapi ketika kita melihat Pileg 2014, kita nampaknya bisa memastikan bahwa politik aliran masih ada dan tidak hilang. Suara suara partai Islam pada Pileg 2014 meningkat, dan kelamin dari masing masing partaipun nampak jelas sekarang. Faktor kembalinya politik aliran dikarenakan beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain:

1.Runtuhnya Citra Partai Nasionalis

Runtuhnya citra partai Nasionalis yang diakibatkan karena banyak kadernya yang terjerat korupsi, etika dan moral yang buruk dan berlaku tidak adil terhadap rakyat membuat rakyat menarik kepercayaannya kembali. Suara partai Nasionalis yang di Pileg 2004-2009 datang dari basis masa Islam seakan hilang karena orang orang yang tadinya mendukung partai Nasionalis kecewa terhadap kinerja dan prilaku partai tersebut. Fenomena suara Islam yang hilang dari partai Nasionalis terbukti di Pileg 2014. Runtuhnya suara partai Demokrat dan bertahannya suara Golkar menjadi bukti bahwa suara suara dari partai tersebut kembali ke partai aslinya yaitu partai partai Islam. Itu mengapa suara suara partai Islam naik dan membungkam seluruh lembaga survey yang mengatakan suara partai Islam anjlok di Pileg 2014.

2.Semakin Banyaknya Santri Kota

Santri kota adalah masyarakat religius yang sangat taat beragama, yang mana berpendidikan tinggi dan ekonominya menengah sampai menegah keatas. Fenomena banyaknya santri kota ini membuat suara partai Islam terus terjaga dan bertambah karena adanya peran santri kota ini. Merujuk pada teori Geetz, masyarakat santri cendrung akan memilih partai Islam. Kita bisa lihat basis basis suara partai Islam seperti PKS (Tarbiyah), PAN (Muhammadiyah), PKB dan PPP (NU), adalah basis suara yang dimana berasal dari masyarakat yang tingkat pendidikan dan ekonominya maju. Kesimpulannya semakin banyaknya santri kota, akan semakin banyak juga suara yang didapat partai Islam. Kemudian bagaimana dengan masyarakat religius yang ada didesa, dimana ekonomi dan pendidikannya tidak seperti santri kota? kemungkinan besar mereka akan tetap menyumbangkan suaranya untuk partai Islam. Karena dalam model sosiologis di studi political behaviour, dikatakan bahwa agama menjadi salah satu faktor dalam menentukan prilaku memilih. Jika agamanya sudah Islam, kemudian taat beragama, individu akan lebih memilih komunitas yang sama dengan ideologinya.

Masa depan pertarungan politik Nasionalis dan Islam

Pasca runtuhnya Komunisme hanya ada dua idoelogi politik yang bergulat di Indonesia, yakni Nasionalis dan Islam. Pertanyaannya, mana dari dua ideologi ini yang akan memenangkan pertarungan politik dan mendapat dukungan dari masyarakat Indonesia kedepannya? Dalam studi Marketing Politik para aktor politik harus memperlebar suaranya dan mempertahankan suara lama (tradisional) nya. Tidak hanya berasal dari basis suara tradisionalnya tapi juga mendapat suara dari konstituen baru. Yang paling berpeluang mendapatkan konstiuen baru untuk Indonesia kedepan adalah partai Islam modernis. Karena semakin religius masyarakat semakin bertambah juga suara partai Islam. Terlebih ketika partai Islam pandai menawarkan program kerja yang bagus untuk konstituen.

Suara tradisional partai Islam lebih setia ketibang partai Nasionalis. Karena ada kedekatan psikologis dan sosiologis antara ideologi (Islam) partai dan konstituen. Mereka diikat karena dasar agama untuk membangun Indonesia dengan Islam dan demokrasi. Sedangkan suara tradisional partai Nasionalis cenderung bisa berubah rubah, atau kita sebut tidak setia. Dalam pendekatan Pilihan Rasional individu akan memilih jika ada untung yang didapat. Jika partai Nasionalis gagal memberikan untung kepada basis suaranya terutama suara tradisonalnya, akan membuat basis suaranya hilang atau pindah ke partai lain yang lebih menguntungkan. Sedangkan dalam partai Islam sendiri, ketika kinerja partai Islam menurun, basis suara partai Islam tidak cepat pindah, karena masih terikat dengan ideologi Islamnya.

Telah kita ketahui bahwa masyoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Dan dalam penelitian sendiri, semakin hari masyarakat Indonesia semakin religius. Bisa kita lihat contoh fenomena hijab yang sudah banyak dipakai kaum hawa. Fenomena bank syariah juga semakin banyak di negara ini. Inilah bentuk semakin religiusnya masyarakat Indonesia. Jadi untuk kedepannya prediksi Islam vs Nasionalis yang akan memenangkannya adalah Islam dengan pertimbangan agama, pilihan rasional, dan kinerja kerja.

@Pandu_Wibowo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun