Mohon tunggu...
Pandu Wibowo
Pandu Wibowo Mohon Tunggu... -

Peneliti Center for Information and Develpoment Studies Indonesia | Tenaga Ahli Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas | Candidate Magister of Planing and Public Policy in University of Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RUU Pilkada untuk Rakyat atau Politisi

9 September 2014   15:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:13 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pandu Wibowo
Mahasiswa Ilmu Politik UIN Jakarta
Peneliti Central of Information and Development Studies (CIDES)
.

Rancangan Undang undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (RUU Pilkada) saat ini tengah dibahas Kementerian Dalam Negeri dan DPR. Panja RUU Pilkada saat ini sedang digodok oleh DPR. Ada tiga opsi yang ditawarkan dan menjadi pro dan kontra antar fraksi di DPR. Opsi pertama, pasangan Gubernur, Walikota, dan Bupati dipilih langsung seperti sekarang. Dalam opsi ini didukung oleh PDIP, Hanura, PKB dan pemerintah. Opsi kedua, pasangan Gubernur, Walikota, dan Bupati dipilih oleh DPRD didukung oleh Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKS dan Gerindra. Opsi ketiga, Gubernur dipilih langsung, namun Bupati, wali kota dipilih DPRD yang hanya didukung oleh DPD.

Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD memang sedang digodok. Ada yang Pro dan juga ada Kontra terkaitRUU ini. Yang paling lantang menyetujui RUU ini adalah partai partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Sedangkan partai partai yang tergabung dalam koalisi Jokowi JK menolak UU tersebut. Alasan Koalisi Merah Putih mendukung RUU Pemilihan Kepada Daerah harus melalui DPRD sebenarnya cukup simple yakni kerugian pilkada langsung lebih besar dari manfaatnya. Menurut Politisi PAN Shaleh P. Daulay, Selain merangsang munculnya raja-raja kecil di daerah, pilkada langsung ditenggarai telah menyuburkan praktik korupsi di daerah-daerah. Belum lagi, pilkada langsung membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan yang paling sering terjadi dari Pilkada langsung adalah rawan akan konflik di masyarakat.

Berbeda dengan Kolaisi Merah Putih, Partai partai Kolaisi Jokowi JK menolak UU pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tetap dengan sikapnya yang menolak pemilihan kepala daerah dikembalikan melalui DPRD. Sistem pemilihan tidak langsung itu dinilai tidak sesuai dengan makna demokrasi yang selama ini telah dijalankan. Semenatara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tak masalah jika opsi pilkada langsung dalam Panja RUU Pilkada didukung oleh minoritas fraksi di DPR. PKB yakin, bahwa pilkada langsung dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi dan mandat rakyat.

Pro dan Kontra ini seakan menjadi pertanyaan besar. Apakah ada unsur unsur kepentingan politik dalam RUU ini? Secara garis besar, jika hitung hitungan Koalisi Merah Putih lebih diuntungkan kalau RUU ini disahkan. Mengapa? Sebab, jika ketentuan menghapus Pilkada langsung itu berhasil disahkan, maka pemilihan kepala daerah di 34 provinsi seluruh Indonesia ke depan, berpotensi bakal disapu bersih oleh KMP. Pasalnya, di hampir semua DPRD Provinsi seluruh Indonesia, kepemilikan kursi KMP yang ikut disokong Partai Demokrat merupakan mayoritas. Dengan menguasai kursi DPRD, dibayangkan kader kader dari partai anggota KMP lah yang akan menduduki kursi kursi eksekutif di daerah. Sedangkan PDIP dan partai koalisinya tentu tidak menginginkan hal ini terjadi. Mereka yang tergabung dengan Koalisi Jokowi JK pasti merasa dirugikan kalau UU ini benar benar disahkan. Pasalnya sudah jelas jumlah kursi Koalisi Jokowi JK kalah dengan jumlah kursi KMP. Ini akan melemahkan kekuatan PDIP dan partai partai koalisinya secara perlahan di daerah. Dan ini akan berdampak di perolehan suara mereka di Pileg 2019.

Memang ada plus dan minus jika UU Pilkada ini disahakan. Namun yang menjadi diskusi panjanganya adalah, jangan sampai para pendukung UU Pilkada ini setuju hanya karena agar melemahkan kekuatan politik lawan (Koalisi Jokowi JK) dan dengan mudah mendapatkan posisi kepala daerah. Kemudian juga jangan sampai yang tidak mendukung UU Pilkada ini setuju tidak disahkan hanya karena khawatir jabatan posisi kepala daerah sulit didapatkan. Kalau pandangan para perancang UU Pilkada sudah seperti ini, mereka bukan lagi memikirkan kepentingan rakyat sebagai acuan utama. Namun mereka menjadikan kepentingan politik untuk partainya sebagai kepentingan utamanya. Ini merupakan sebuah tindakan yang tidak bijak dari para politisi. Mereka duduk di pemerintahan karena rakyat. Maka dari itu kepentingan rakyat harus lebih dikedapankan, bukan sebaliknya kepentingan politik yang dikedepankan.

Para politisi, baik dari KMP atau Koalisi Jokowi JK harus menghilangkan dahulu kepentingan kepntingan politik mereka dalam menyusun RUU Pilkada ini. Mereka harus lebih berfikir kedepan tentang dampak dari disahkan atau tidaknya RUU ini kedepannya. Percuma misalkan jika di lima tahun kedepan ketika partai partai KMP menjadi penguasa kembali dan partai partai kolisi Jokowi JK diluar pemerintahan merubah lagi UU Pilkada yang sudah disahkan. Misalkan partai partai KMP yang sudah masuk lagi kelingkup kekuasaan mencoba menghapus atau mengganti UU Pilkada ini lagi. Sebaliknya partai partai yang dulu menjadi Koalisi Jokowi JK malah balik mendukung UU ini kalau misalkan disahkan. Perdebatan ini akan terus panjang, bahkan DPR harus kerja dua kali dalam menyusun RUU Pilkada ini kedepannya. Kalau itu benar benar terjadi, ini akan berdampak pada ketidakstabilan politik dan tata hukum di Negara kita, terutama dalam Pilkada. Juga akan menyita banyak waktu para dewan dalam memikirkan RUU ini. Yang paling penting yang perlu kita ketahui dalam politik adalah “tidak ada teman yang abadi”. Bisa saja dipertengahan jalan atau lima tahun kedepan salah satu partai pendukung KMP membelot tidak mendukung kebijakan KMP. Dan bisa juga salah satu partai pendukung Koalisi Jokowi JK mebelot pula untuk tidak mendukung kebijkan Koalisi Jokowi JK. Bahkan kata Koalisi Permanen nampaknya tidak akan selamanya hidup beriringan.

Solusi dari polemik RUU Pilkada ini hemat penulis adalah, lakukanlah kajian dan diskusi lebih dalam lagi. Libatkan banyak pakar politik dan hukum tata Negara untuk sama sama menyumbangkan idenya terkait RUU Pilkada. Fikirkan dampak kedepannya kalau RUU Pilkada disahkan atau tidak. Karena sesungguhnya jika RUU ini disahkan atau tidak yang terkena dampaknya juga adalah rakyat di daerah masing masing.

@pandu_wibowo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun