Aku dipaksa berjalan melewati ruangan gelap tadi menuju sebuah lorong dengan tangga menanjak, dengan sedikit penerangan dari lampu-lampu kecil di kanan lorong. Hatiku berdebar sangat kencang dan keringat mulai bercucuran di mukaku. Apakah aku dijebak? Bukannya ini alamat yang diberikan Marlene? Tidak mungkin ia menipuku, tidak mungkin!
Di ujung lorong terdapat pintu yang perempuan di belakangku memberi isyarat untuk membukanya. Aku perlahan membukanya, sambil berdoa agar tidak terjadi apa-apa padaku.
......
Kami tiba di sebuah aula besar bernuansa antik, dengan interior yang mayoritas terbuat dari kayu dan batu dengan interior yang terkesan indah, dan memiliki ornamen-ornamen yang bercampur dengan budaya barat dan timur, lebih tepatnya, Jepang, dengan beberapa jendela dalam terlihat seperti pintu kertas tradisional mereka. Kami berjalan menaiki tangga menuju sebuah ruangan, yang setelah dibuka merupakan sebuah perpustakaan besar. Di dekat rak buku, seorang pria duduk sambil membaca sebuah buku, yang judulnya tertutup oleh jari-jarinya. "Mille, laat haar gaan. Ze is niet onze vijand." (Mille, lepaskan dia, dia bukan musuh kita). Perempuan itu langsung menolak. "Serius, kau ingin ia tiba-tiba-" Laki-laki tersebut langsung berdiri. "Sudah, letakkan pistolmu, atau kami tidak akan membeli barang-barangmu." Katanya tegas. Perempuan tersebut terlihat ragu namun tetap menurunkan pistolnya. "Terserah, aku akan menunggu diluar. Kau mati, aku masih punya klien lain." Ia keluar ruangan dan menutup pintu.
Laki-laki itu kemudian mendatangiku. "Maafkan aku, ia sebetulnya mitra dagang kami, namun aku tidak bisa selalu setuju apa yang ia lakukan." Aku terheran dan langsung meledak marah. "Mitra dagang? Siapa dia!? Kenapa dia punya aksen aneh!? Bukan! Kau siapa!? Kenapa kau menculikku!?" Aku berniat marah lebih lanjut namun ia menampar mulutku dengan bukunya. "Kau lebih baik diam, akan ku jelaskan semuanya. Ia menunjuk pada sofa dekat rak buku, menyuruhku untuk duduk. Kuusap pipiku yang baru saja ia tampar dan perlahan duduk, masih merasa kesal.
Ia membetulkan jas dan dasi ascot berwarna merah tuanya, kemudian menyulurkan tangannya. "Markus Johannes Vorster. Senang bertemu denganmu, juffrouw Anneliese Jan Frederik. Akan kujelaskan semuanya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI