Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, rapat V.C yang seharusnya tidak berkonflik atau temanku telah menjadi sebongkah daging tak bernyawa. Marlene... kenapa kau tinggalkan aku secepat ini? Selama aku berlari dari polisi militer yang menggagalkan rapat rahasia kami, ingatan beberapa bulan lalu mulai memasuki kepalaku yang sedang berlari di jalanan bersalju yang dingin dan gelap.
......
September, 1920. Kota Leiden, Republik Belanda.
Aku ingat pada saat bertemu denganmu tahun lalu, setelah mendapatkan berita bahwa aku akhirnya diterima di Universitas Leiden, kami sekeluarga segera berangkat ke negeri Belanda dari Makassar. Pada awalnya, banyak yang tidak menyambut kami dengan begitu baik oleh teman-teman seangkatanku ataupun orang-orang disana karena menurut mereka, aku bukanlah orang Belanda “asli”. Orang tuaku selalu membelaku sehingga hatiku sedikit merasa tenang, namun ketegangan tetap terasa. Orang-orang terus menatapku dengan aneh, seringkali dengan muka yang menunjukkan bahwa mereka merasa jijik atau, memberikan cacian langsung. Setelah menemukan rumah kontrakkan yang akan aku gunakan selama kuliah, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sekitar kota Leiden. Udara Belanda benar-benar berbeda dengan daerah panas tropis seperti di Makassar, butuh waktu lama untukku agar terbiasa dengan udara di sini. Aku duduk di bangku kecil di dekat kanal Steenschuur, mengeluarkan buku catatan dan mengamati lingkungan sekitar.
Musim gugur benar-benar musim yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Kalau selama di Makassar, atau dimanapun di Hindia, cuacanya hanya ada dua macam: panas yang sangat membara di siang hari dan dingin di malam hari yang dapat membuat orang-orang mudah sakit, dan musim hujan. Jujur, aku lebih memilih cuaca hujan, terutama hujan gerimis dengan sedikit angin berhembus. Nuansanya benar-benar membuat hatiku lebih tenang dan damai. Di sini, nuansa tenang bisa didapat dengan angin yang cukup dingin, sehingga aku harus memakai syal tebal kalau di luar. Daun gugur dari pohon-pohon yang turun dengan lambat oleh angin memberikan warna merah tua yang menghiasi bangunan-bagunan,jalanan, trotoar, bahkan air kanal. Aku paham kenapa mereka bilang negeri Belanda sangatlah indah, meskipun karakter orang-orangnya perlu disetel sedikit.
“Kamu sendiri saja di sini?” Tanya seseorang dari arah sebelah. Aku menoleh ke arahnya dan menemukan seorang perempuan muda, kelihatannya seumuran sedang berdiri menenteng sebuah koper. Ia memakai blouse putih bernuansa krem dengan sedikit warna hijau zamrud.“Memang iya, ada masalah?” gerutuku. “Sedikit, kau seperti kelihatan tidak punya teman.” Aku mengernyitkan mata, orang ini kenapa, ikut campur orang secara acak begini?. “Wajar saja, aku kan baru di sini. Jauh-jauh datang dari Hindia.” Perempuan itu terkejut, lalu mengambil tempat kosong di sampingku. “Eh? Kamu dari Hindia? Dari mana? Kamu nggak kelihatan seperti orang Indo.” Ia bertanya dengan nada tertarik, meskipun membuatku sedikit tersinggung. “Dari Makassar, di Pulau Celebes. Aku memang orang Indo, terus kenapa? Mau mengejekku seperti yang lain?” Ia tersenyum. “Tentu tidak. Bagaimanapun, orang Indo tetap memiliki darah Belanda, darah Eropa, itu sudah cukup. Bicara soal Indo, memangnya kamu keturunan mana?”
Ia ternyata tidak seburuk yang aku kira, sedikit aneh tapi ia sopan dan punya rasa tertarik yang kuat. “Ayahku keturunan orang-orang Trekboers, keturunan Belanda di Afrika Selatan, leluhurku dari Eindhoven, Noord-Brabant, ia bekerja sebagai salah satu pemilik perusahaan dagang di sana, namun karena situasi politik yang semakin lama semakin panas, ia memutuskan untuk meninggalkan Afrika dan pergi ke Hindia Belanda, dimana ia yakin dapat melanjutkan bisnisnya di sana. Ia pergi ke pulau Celebes, menetap di sana, menikahi gadis lokal, dan itulah cerita bagaimana aku lahir.”
Ia mengangguk-angguk. “Ooh, kamu ternyata punya cerita yang menarik. Kalau yang aku dengar dari papa, orang-orang Indo dianggapnya sebagai orang-orang di bawah Belanda totok. Aku inginnya tidak percaya begitu.”
Aku menatapnya dengan sedikit marah. “Hanya gara-gara kami bukan seratus persen warga Eropa, kulit kami tidak seputih mereka, dan lahir dari rahim bumiputra yang ‘kotor’!” Aku memukul sandaran besi bangku. Ia terkejut dan bergeser sedikit ke samping. Aku melihatnya sedikit tegang denganku dan mengambil nafas dengan dalam. “Ma-maaf. Aku tadi terbawa emosi, nona...” Baru sadar kalau ia belum menyebutkan namanya. Ia tersenyum sedikit, berusaha untuk tidak terlalu tegang. “Tidak, tidak masalah, aku paham kenapa kamu marah. Aku Marlene. Marlene Vroom. Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Leiden. Kamu?” Aku terkejut mendengarnya. “Kamu ilmu sejarah juga? Wah, kita satu jurusan ternyata. Oh ya, namaku Anna, Anneliese Jan Frederik.” Aku mengulurkan tanganku dan ia menjabatnya dengan tangannya yang lembut. Orangnya baik juga, tidak seperti kebanyakan orang Belanda totok. “Kau beruntung punya kisah yang menarik, aku tidak punya banyak yang bisa diceritakan.” Ia sepertinya menyembunyikan seseuatu, tapi sebaiknya jangan kutanya sekarang.
Kami berbicara selama beberapa waktu sambil melewati hari yang suram musim gugur, kebanyakan berbicara mengenai bagaimana kehidupan perkuliahan nanti. Kami kemudian berpindah dari bangku tersebut dan berjalan-jalan sebentar melewati jalan-jalan kota. “Marlene, teman-temanku akan segera berkumpul satu jam lagi di taman Van der Wert, kau ingin ikut bersamaku?” Ia mengangguk. “Boleh saja, aku juga sedang tidak melakukan apa-apa juga hari ini.” Kami berjalan beberapa menit, kemudian bertemu dengan beberapa teman-teman dari angkatan yang sama di taman Van der Wert.