Vending machine, inovasi modern yang memudahkan akses terhadap barang-barang sehari-hari, menimbulkan perdebatan menarik sehubungan dengan pandangan agama, terutama dalam konteks perbedaan pemikiran antara Imam Syafi'i dan Imam Maliki. Dalam kajian fiqih ekonomi, pertanyaan mengenai kesesuaian vending machine dengan prinsip-prinsip syariat sering kali muncul.Â
Kritik terhadap vending machine dari sudut pandang Imam Syafi'i dan Imam Maliki membuka ruang untuk diskusi yang mendalam mengenai integrasi teknologi modern dengan prinsip-prinsip agama. Ini tidak hanya membahas legalitas teknologi, tetapi juga mengajukan pertanyaan fundamental tentang bagaimana pandangan agama dapat beradaptasi dengan kemajuan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip inti keagamaan.
Dengan perkembangan teknologi, dunia perekonomian kita mengalami perubahan corak-corak tersendiri. Salah satunya adalah teknis pelaksanaan jual beli yang beberapa tidak melisankan ijab dan qabul. Melainkan hanya dengan melalui tulisan, kode, isyarat, dan lain sebagainya.Â
Dalam bahasa fiqih, transaksi semacam ini dikenal dengan bai' al-mu'athah, artinya jual beli tanpa ijab qabul atau persetujuan antara penjual dan pembeli. Kegiatan seperti itu sering terjadi di swalayan, supermarket, toko online atau mesin penjual otomatis. Implementasi akad bai' al-mu'athah di zaman ini ialah transaksi vending machine.
Sebelum membahas mengenai pandangan Imam Syafi'i dan Imam Maliki mengenai transaksi bai' al-mu'athah, kita harus memahami dulu pengertian transaksi tersebut. Bai' al-mu'athah terdiri dari dua kata Bahasa Arab, yaitu al-bai' dan al-mu'athah . Secara bahasa, kata al-bai' berarti menjual, menukar sesuatu dengan sesuatu lain. Sedangkan al-mu'athah berasal dari kata a'tha-yu'thi yang didefinisikan sebagai saling menyerahkan tanpa disertai akad.
Jual beli dengan sistem mu'athah ini merupakan jual beli yang hanya dengan penyerahan dan penerimaan barang tanpa disertai perkataan, ucapan, atau isyarat apapun yang menjadi sighat. Nama lain dari akad ini adalah bai' al-murawadhah yang berasal dari kata "ridha" yaitu saling meridhai dan tidak perlu adanya akad. Transaksi atau akad ini banyak menimbulkan polemik dan kontroversi di kalangan ulama fiqih. Ada tiga pandangan ulama berkenaan dengan transaksi ini.
Golongan pertama adalah mereka yang sepakat bahwa jual beli ini tidak sah. Pandangan ini dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i dan Imam az-Zahiri dan termasuk juga beberapa golongan Syiah. Pendapat Imam Syafi'i tentang jual beli semacam ini adalah :
(Ridho/rela itu tersembunyi, maka apa yang ditunjukkan oleh kata itu diperhitungkan, sehingga tidak diakhiri dengan suatu transaksi, melainkan dipilih untuk diakhiri dengan segala sesuatu yang disebut dengan jual beli)
Menurut mereka, bai' al-mu'athah ini tidak sah karena tidak ada dalil yang kuat untuk menyatakan aqad. Sebab kerelaan adalah suatu perkara yang tersembunyi dan tidak ada dalil yang dapat menyatakan demikian kecuali dengan lafadz. Menurut mereka, lafadz ijab qobul ialah dalil zahir yang shorih untuk menunjukkan ridho kedua pihak atas urusan jual beli.
Golongan kedua adalah pendapat yang tengah-tengah, yaitu dipegang oleh sebagian Ulama Madzhab Syafi'i dan sebagian Ulama Madzhab Hanafi. Oleh karena pendapat mazhab yang sebelumnya keras, maka sebagian golongan ulama Syafi'i seperti Ibnu Suraij dan ar-Ruyani serta termasuk Imam an-Nawawi, Al Baghawi dan Al-Mutawalli, mengatakan sah jual beli dengan cara menunjuk pada barang yang akan diperjual belikan yang sifatnya tidak mahal. Serta ketika sudah menjadi adat atau kebiasaan ('urf) yang terlihat.
Pendapat terakhir ialah pendapat jumhur fuqaha' Maliki, Hanafi dan Hanbali. Mereka berpendapat transaksi bai' al-mu'athah ini harus sama,termasuk pada barang yang mahal ataupun murah. Dalam kitab Fiqh Islam wa Adilatuhu Juz 4, jual beli menurut Imam Maliki yang disetujui oleh Imam Hanafi ialah :
(Pertukaran uang dengan uang dengan cara tertentu, atau pertukaran sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang serupa dengan cara yang spesifik dan bermanfaat)
Imam Maliki cenderung memperhatikan konteks sosial serta manfaat dari suatu perbuatan atau transaksi dalam menafsirkan hukum Islam. Dalam memandang vending machine, Imam Maliki mungkin akan melakukan penilaian terhadap aspek-aspek etis, sosial, dan hukum yang terkait dengan teknologi tersebut. yang ditawarkan oleh teknologi tersebut. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad (pandangan terbaru) serta ulama-ulama di kalangan mereka mengatakan bahwa akad yang berlaku adalah sah dalam perkara yang telah menjadi kebiasaan.
Terkait dengan hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli dengan cara mu'athah adalah boleh, apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan di sebuah negeri atau daerah tertentu. Menurutnya, diantara persyaratan terpenting dalam jual beli adalah taradhin. Sementara perilaku mengambil barang dan kemudian membayarnya meskipun kepada mesin sudah menunjukkan proses ijab qabul dengan unsur taradhin.
Imam Syafi'i, dengan metodologi istinbath (penarikan hukum dari sumber-sumber hukum Islam), menekankan pentingnya memahami aspek hukum dari segala tindakan. Pendekatan ini memunculkan pertanyaan terkait legalitas vending machine dalam Islam, yang mencakup aspek transaksi, kehalalan produk yang dijual, serta kesesuaian dengan prinsip-prinsip syariah.
Di sisi lain, Imam Maliki yang cenderung memperhatikan konteks sosial dan urgensinya dalam menafsirkan hukum Islam, mungkin lebih memperhitungkan manfaat sosial yang ditawarkan oleh vending machine. Meskipun demikian, Imam Maliki juga menekankan pentingnya menjaga kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah dalam segala aktivitas manusia.
Masing-masing Imam memiliki pendekatan yang unik dalam menafsirkan hukum Islam, dan perbedaan ini tercermin dalam pandangan mereka terhadap fenomena kontemporer seperti vending machine. Pertanyaan yang muncul meliputi aspek transaksi tanpa interaksi langsung antara pembeli dan penjual, kehalalan produk yang dijual, serta pertimbangan etis terkait kepraktisan teknologi ini.
Wallahu'alam.
Penulis :
Pandu Salsabila Irtiqouli'ulya
Referensi :
- Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adilatuhu Juz 4, hlm 340-346
- H. Syaikhu, M.H.I., FIKIH MUAMALAH; Memahami Konsep dan Dialektika Kontemporer, hlm. 44-50
- Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Utsman bin Syafi bin Abdullah bin Abd al-Manaf As-Syafii, Musnad as-Syafii
- Al-Jaziri Abdul Rahman, Al-Fiqh 'Ala Madzahibil Arba'ah Juz 2
- https://www.fatihsyuhud.org/2013/03/buyuk-muamalah-fathulmuin.html
- https://mawdoo3.com/___
- https://shamela.ws/book/7571/13
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI