Ada dua emiten tercatat yang baru IPO tetapi melakukan corporate action buy back shares, yaitu $SKRN dan $UCID
Karena posisi saya adalah investor, maka pendekatan saya adalah pesimis alias hati-hati alias curiga. Prinsip bisnis yang utama adalah haus untuk selalu berekspansi, sehingga membutuhkan dana untuk ekspansi, jadi jika suatu emiten mengembalikan dana milik shareholder pasti ada udang di balik bakwan?!
Kedua emiten ini berdasarkan laporan keuangan sesaat setelah IPO adalah emiten yang dikategorikan IPO sukses, saham IPO laku habis terjual. Indikasi tersebut dapat dilihat pada jumlah kas yang naik signifikan atau aset (tetap) yang naik signifikan atau kewajiban atau yang berkurang signfikan, dan telah sesuai dengan tujuan penggunaan dana IPO.
Misalnya SKRN yang listing date 11 October 2018 menerima dana IPO-bersih sebesar Rp. 197,6 miliar, menurut LK YTD Dec 2018 terjadi kenaikan kas yaitu pada tanggal 31 Maret 2019saldo kas sebesar Rp. 32 miliar, naik menjadi Rp. 136 miliar pada tanggal 31 Desember 2018, atau naik sebesar Rp. 104 miliar. Kenaikan ini merefleksi penerimaan uang dari IPO yang belum digunakan dan masih ditempatkan pada kas perusahaan.
Dengan demikian dana IPO yang sudah digunakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2018 sebesar = 197,6 miliar – 104 miliar = Rp. 93,6 miliar, yang MUNGKIN telah digunakan untuk membayar utang dan membeli aset tetap sesuai dengan tujuan IPO. Dimana total utang berbunga dan fixed asset memang mengalami kenaikan nilai dibandingkan antara tanggal 31 Maret 2018 dengan tanggal 31 Desember 2018.
Kenaikan aset sangat meyakinkan, karena bukan terjadi kenaikan pada “Uang Muka”, sebagaimana yang dicatat oleh PASUKAN EMITEN IPO TAK LAKU-LAKU. Sehingga mengkonfirmasi bahwa SKRN adalah IPO yang saham IPOnya laku terjual habis pada saat IPO.
Demikian juga yang terjadi pada UCID yang listing date tanggal 20 Desember 2019 telah menerima dana IPO-bersih sebear Rp.1,15 triliun. menurut LK YTD Dec 2019, terjadi kenaikan kas, yaitu pada tanggal 30 Sep 2019 saldo kas sebesar Rp. 1,3 triliun, naik menjadi Rp. 1,98 triliun pada tanggal 31 Desember 2019, atau naik sebesar Rp. 683,4 miliar. Kenaikan ini merefleksi penerimaan uang dari IPO yang belum digunakan dan masih ditempatkan pada kas perusahaan.
Dengan demikian dana IPO yang telah digunakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2019 sebesar = 1,15 triliun – 683,4 miliar = Rp. 470,5 miliar, yang MUNGKIN telah digunakan untuk membayar utang (20,6%), dimana jumlah utang kepada pihak berelasi mengalami penurunan dari Rp. 323,3 miliar. Sehingga hal ini juga mengkonfirmasi bahwa UCID adalah IPO yang saham IPOnya laku terjual habis pada saat IPO.
Yang mengherankan setelah perusahaan bersusah payah untuk IPO dengan membayar biaya IPO yang tidak sedikit, misalnya SKRN harus membayar biaya IPO sebesar Rp. 12,4 miliar dan UCID membayar biya IPO sebesar Rp. 93,1 miliar.
Jika dibandingkan dengan LK 31 Des 2019, SKRN membayar biaya IPO sebesar 9% dari laba bersih tahun 2019, dan UCI membayar 28% dari laba bersih tahun 2019. Lantas kenapa saham IPO harus di-buy-back?
Menggunakan pendekatan pesismis, yang masuk akal untuk menjawab fenomena tersebut adalah emiten memiliki janji untuk membeli Kembali saham IPO milik pihak tertentu pada tanggal disepakati. Dengan demikian sebagian dana IPO adalah sekedar “Bridging Loan” untuk menutupi kebutuhan mendesak pada saat IPO. Dan setelah perusahaan memiliki kelonggaran waktu dan kas yang cukup, kemudian saham IPO harus ditebus Kembali sesuai dengan kesepakatan awal.
Maka SKRN sukses membeli kembali saham publik sebanyak 141,2 juta (s.d. 30 Sep 2020) dengan harga Rp. 701, dan tambahan 15,2 juta lembar pada tanggal 1 Oct 2020. Sehingga kepemilikan publik merosot dari 300 juta lembar (20%) menjadi 156,5 juta lembar (10,4%).
Sedangkan UCID berdasarkan informasi tanggal 30 November 2020 di sini https://bit.ly/36k8wTY hasil sementra jumlah saham yang di-buy back menurut data RTI pada tanggal 30 November 2020 sebesar Rp. 13,26 juta lembar.
Mungkin anda akan beragumentasi, bahwa share buy back itu bagus karena meningkatkan nilai shareholder yang menyebabkan EPS naik dan ROE juga naik. Ketimbang dana nganggur tidak digunakan oleh emiten?
Untuk kasus kedua perusahaan (SKRN dan UCID) tidak masuk akal mengembalikan uang modal kepada shareholder, padahal SKRN memiliki utang berbunga pada tanggal 30 September sebesar Rp. 738,7 miiar. Dan UCID memiliki utang berbungakepada pihak berelasi sebesar Rp. 1,3 triliun.
Logika sederhana lebih baik membayar utang berbunga ketimbang buy back shares, karena beban bunga berkurang, maka laba naik. Selain itu membayar utang berbunga akan mengurangi resiko keuangan.
Bagimana jika emiten tidak memiliki saldo utang berbunga, posisi sedang surplus kas yang berlimpah, tetapi tidak ada rencana capex? Apakah buy back juga diperlukan dan menguntungkan? Penulis akan memilih untuk tidak berinvestasi pada perusahaan sejenis ini kecuali hanya untuk tujuan trading, dimana harga saham cenderung akan naik atau lebih terjaga jika ada aksi “buy-back”.
Untuk tujuan investasi harus dicoret, karena bagaimana mungkin kita mengharapkan pada emiten yang sudah kebingungan bisnis kedepannya mau diapakan, sehingga tidak ada rencana ekspansi kedepan, lantas modal dikurangi??!?
Mungkin ada bantahan, setelah emiten melakukan buy-back, kelak saham buy-back dapat dijual lagi, maka emiten untung? Secara PSAK tidak ada pengakuan untung setelah saham dijual. Jadi tidak akan menambah saldo retained earning. Dengan demikian keuntungan atas menjual kembali saham buy-back (treasury) tidak berpengaruh langsung terhadap dividen.
Justru jika emiten sudah punya niat untuk melakukan jual-beli saham sendiri, maka ini adalah saham yang harus segera dijauhi, karena emiten mulai memainkan sahamnya sendiri, ini sudah termasuk kategori atau cenderung melakukan SUPER INSIDER TRADING. Bandar atau siapapun akan kalah jika beradu judi saham dengan emitennya sendiri. Lalu untuk apa punya saham perusahaan seperti ini, semakin tidak berkah.
Bagaimana buy-back yang benar? Sebenarnya bukan buy-back, tetapi jika PSP-nya langsung yang membeli saham publik, itulah yang paling benar, karena PSP-nya semakin yakin emiten sangat menguntungkan sehingga tidak rela berbagi untuk dengan publik.
Demikian semoga cuan dan bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H