Mohon tunggu...
Edgar Lim
Edgar Lim Mohon Tunggu... -

Seorang penulis independen yang ingin menyuarakan pendapatnya selama mengamati berita-berita yang mengalir setiap harinya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menilik Aksi "Kartu Kuning" Ketua BEM UI yang Seharusnya Tidak Perlu Diapresiasi

8 Februari 2018   05:10 Diperbarui: 8 Februari 2018   22:55 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jum'at, tanggal 2 Februari 2018 kemarin,  Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Zaadit Taqwa melakukan aksi "Kartu Kuning" dan meniup peluit saat Jokowi baru saja selesai berpidato dalam acara Dies Natalis ke-68 UI di Balairung, Depok.

Banyak orang mengganggap aksi ini merupakan aksi heroik seorang yang mahasiswa yang berani bersuara (beraspirasi) langsung di hadapan presiden Jokowi. Namun di sisi lain, saya melihat hal ini bukanlah hal yang sehebat itu, bahkan bisa di bilang ini merupakan aksi yang sebaiknya tidak dilakukan--jika tidak ingin disebut dengan aksi yang bodoh dan mempermalukan status "mahasiswa" yang dimilikinya.

Mungkin dari pendapat saya seperti itu, anda bisa bilang kalau saya hanyalah seseorang yang pro dengan pemerintah, yang tidak menyukai kalau presiden dukungannya dikritik. Saya tidak bisa bilang itu benar-benar salah. Tapi dalam hal ini ada lebih banyak poin penting yang perlu diperhatikan dibandingkan hal tersebut.

Dalam aksinya itu, belakangan diketahui ada 3 tuntutan yang menjadi dasar mengapa ketua BEM UI, Zaadit Taqwa, melakukan aksinya itu. Salah satunya adalah langkah pemerintah mengusulkan Asisten Operasi Kapolri Irjen Mochamad Iriawan sebagai penjabat gubernur Jabar dan Kadiv Propam Polri Irjen Martuani Sormin sebagai penjabat gubernur Sumut.

Langkah yang dinilai memunculkan dwifungsi polri/TNI dan dikhawatirkan mencederai netralitas polri/TNI. Dan, Ya, pilihan Jokowi (dalam hal ini pemerintah) untuk mengusulkan polri sebagai pejabat gubernur memang kontroversial, saya pun bertanya-tanya dalam hal ini, apa yang sebenarnya dipikirkan pemerintah? (Meskipun Jokowi sudah menjawabnya)

Tapi, di sisi lain, masalah yang lebih besar yang mendapat perhatian dari 3 tuntutan itu adalah masalah gizi buruk yang terjadi Papua, tepatnya di Asmat dan sekitarnya. Hal inilah yang sejujurnya mendasari saya untuk menulis artikel ini. Saya tahu bahwa sah-sah saja untuk mengkritik atau memberi peringatan kepada pemerintah, tapi yang membuat saya kesal adalah, apa yang Zaadit lakukan ini seakan ingin berkata kalau pemerintah seakan menutup mata dan tidak peduli dengan kejadian ini, padahal kenyataan di lapangan berkata lain.

Perlu di garis bawahi kalau kasus gizi buruk disebabkan oleh banyak faktor yang tidak hanya berasal dari bidang kesehatan saja, tapi juga merambat pada permasalahan ekonomi. Secara gamblang bisa dikatakan, kalau gizi buruk terjadi karena seseorang (terutama anak-anak), tidak mendapat makanan yang begizi atau bernutrisi, pola makan yang tidak teratur (kelaparan).

Lalu dari sana kita bertanya, kenapa hal itu bisa terjadi? Karena pada dasarnya di Papua terjadi kesenjangan ekonomi dimana banyak warga yang bisa dibilang berada pada titik kemiskinan, selain itu juga ada alasan karena kesulitan pangan, dan ketika seseorang sudah terkena gizi buruk, mereka yang ingin berobat pun tidak bisa mendapat akses kesehatan karena puskesmas terlalu jauh. 

Lalu kita akan bertanya, Jokowi sedang apa? Pemerintah ngapain aja? Pemerintah pusat sudah berencana untuk merelokasi warga terpencil di Papua, yang artinya memindahkan mereka dari daerah terpencil ke tempat yang lebih baik dalam hal ini tempat yang dekat dengan akses kesehatan yang mana bisa menjadi salah satu solusi kecil mengatasi gizi buruk, namun sayangnya hal itu ditolak. 

Dengan penolakan ini, satu-satunya jalan adalah membantu dengan distribusi pangan atau pembangunan infrastruktur, namun lagi-lagi kendala yang dihadapi adalah lokasi Asmat yang sebagian besar lokasi rumah atau bangunannya berada di atas rawa-rawa sehingga pembangunan infrastruktur tidak mudah seperti membangun bangunan di tanah biasa.

Di sana rumah-rumah, sekolah dan bangunan lainnya didirikan diatas panggung yang mana akan memakan biaya jelas lebih mahal dari pada bangunan biasa. Di tambah lagi akses menuju lokasi dimana masyarakat terkena gizi buruk sangatlah sulit, yang mana harus menggunakan perahu, menunggu pasang surut air laut, melewati gunung dan hutan, yang mana jelas akan menambah biaya yang tidak sedikit hanya untuk transportasi.

Sri Mulyani sempat menyindir aksi ini dengan berkata. "Jadi mahasiswa UI yang mau kasih kartu kuning atau demo, harus sudah dapat kuliah Pengantar Teori Ekonomi Makro, Kalau sudah dapat pengantar makro ekonomi baru demo ya. Kalau belum terus demonya salah itu malu-maluin, jangan bilang pernah diajar saya,"

Saya sendiri bukanlah lulusan sarjana ekonomi atau semacamnya, sehingga saya tidak bisa benar-benar mengartikan apa yang dimaksud oleh Ibu Sri Mulyani, tapi gambarannya adalah Zaadit yang melakukan aksi kartu kuning yang memberi peringatan kepada Jokowi tentang masalah gizi buruk Asmat bisa dianggap tidak mengerti tentang kenyataan yang terjadi.

Zaadit berkata, "Sudah seharusnya Presiden Joko Widodo diberi peringatan untuk melakukan evaluasi di tahun keempatnya." Tanpa mengetahui bahwa dalam hal ini Jokowi sudah banyak melakukan hal-hal besar terutama dalam hal mengatasi kesenjangan sosial di Papua.

Dari Harga BBM di Papua yang sebelumnya Rp. 60.000 kini menjadi Rp. 6.450 sampai  Pembangunan jalan Trans-Papua, atau bahkan perebutan 51% saham Freeport Indonesia yang kini dimiliki pemerintah, itu semua merupakan prestasi yang seharusnya bisa kita lihat dengan jelas, terlebih lagi dengan mudahnya akses berita seperti kompas.com ini, rasanya bohong jika kita tidak mengetahuinya. Dengan melakukan semuanya itu pemerintah berharap dapat mengurangi kesenjangan ekonomi di Papua dan secara tidak langsung dengan adanya perekonomian yang lebih baik, akan memudahkan bantuan yang akan dikirimkan ke daerah terpencil seperti Asmat yang secara tidak langsung akan mengurangi angka penyakit gizi buruk.

Dengan data keberhasilan di atas seharusnya kita bisa mengetahui bahwa pemerintahan Jokowi sudah berusaha dengan sangat baik yang mana melebihi era-era presiden sebelumnya. Jadi di sini saya melihat bahwa aksi Zaadit itu seakan dia tidak benar-benar mengetahui apa yang ia bicarakan.

Jokowi sendiri lebih merespon dengan santai atas aksi yang Zaadit lakukan. Jokowi tahu bahwa ia sudah melakukan hal yang benar, meski belum bisa menuntaskan semuanya karena membutuhkan waktu, setidaknya Pak Jokowi sudah memulai langkah yang besar di 4 tahun kepemimpinannya. Dan aksi Zaadit tidak lebih terlihat seperti aksi mahasiswa yang sedang mencari perhatian.

Dan yang menyebalkannya adalah, terlalu banyak orang yang mengagungkan aksi Zaadit ini, meski sebenarnya aksinya hanyalah aksi biasa yang tidak ada artinya atau seperti yang di judul artikel ini saya tulis, aksi yang seharusnya tidak dilakukan. Orang-orang menyebutnya heroik karena berani bersuara, dan banyak yang berkata seakan dia adalah simbolisme aksi mahasiswa yang kini cenderung apatis dan diam. Momentum ini pun digunakan sejumlah elit politik yang anti terhadap pemerintah untuk memuja aksi Zaadit agar citra pemerintah terlihat negatif, bahkan sampai mendapat tawaran umroh, meski akhirnya ditolak.

Kesimpulannya adalah, Aksi "Kartu Kuning" Zaadit bukanlah aksi heroik, melainkan aksi yang mempermalukan dirinya sendiri yang seharusnya tidak ia lakukan. Saat ini kita berada di era reformasi dan bukan di era orde baru di masa lalu di mana aspirasi bisa disampaikan dengan cara yang lebih baik, seperti diskusi, misalnya, terlebih saat itu presiden Jokowi sebenarnya sudah merencanakan akan bertemu dengan BEM UI, namun dibatalkan karena aksinya yang seharusnya tidak ia lakukan ini.

Pemerintah kita bukanlah pemerintah yang sama seperti saat jaman orba yang anti-kritik, tapi kebebasan mengkritik pun tetap ada aturannya, melihat bagaimana perkembangan internet yang terlalu bebas, sering kita melihat bahwa orang-orang yang ditangkap polisi karena menghina presiden atau kapolri malah menyalahkan dan menganggap pemerintah anti-kritik, namun kenyataannya menghina dan mengkritik itu berbeda. Saya yakin kita semua berharap ke depannya tidak terjadi hal seperti ini lagi dan setiap aspirasi baik itu dari masyarakat ataupun dari mahasiswa bisa disampaikan dengan cara yang lebih baik.

 Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun