Beberapa waktu lalu melalui media televisi istri saya sempat menyaksikan bagaimana Bapak Presiden mengatakan bahwa untuk semua Pegawai Negeri Sipil akan memperoleh jatah uang lauk pauk. Sepulangnya saya dari tempat kerja istriku menyambut aku dengan senyum-senyum.
"wah... berita apa hari ini, hingga engkau senantiasa tersenyum simpul menyabut aku?" tanyaku.
"Pak....berbahagialah kita, hari ini Bapak Presiden tercinta mengatakan bahwa kita akan memperoleh jatah uang lauk pauk." jelas istriku. Senyum simpulnya belum juga pudar. Dalam benaknya mulai bulan berikutnya dia dapat menyisihkan sebagaian uang gaji untuk keperluan pendidikan anak-anak kami.
Bulan demi bulan, bahkah tahun demi tahun ternyata jatah uang lauk pauk yang dijanjikan belum kunjung tiba.
Ketika internet dapat diakses dengan menggunakan jaringan telepon genggan isti saya bilang, "Pak coba deh, periksa di internet, apa kabar dengan uang lauk pauk yang pernah dijanjikan Bapak Presiden kita." pinta istri saya dengan wajah sedikit putus asa.
Dan beberapa sat kemudian kami berdua berselancar di penelusuran google, dan betapa kami terperangah sebab ribuan halaman menyajikan tulisan seputar uang lauk pauk.
"Akh, masa berita-berita ini tidak sempat dibaca Bapak Presiden." lagi-lagi istriku.
"Bisa saja sayang..... bisa saja.... Bapak Presiden sedang dilanda kemelut bangsa yang senantiasa membelit pikiran bangsa kita," balikku.
"Tetapi apakah omongan Bapak Presiden boleh tidak dipercaya....?' terus istriku.
"Ya, mesti dipercaya....." singkatku.
"Tapi sekarang sudah hampir empat tahun janji uang lauk pauk Bapak Presiden belum terealisasi" sengit istriku.
"Kan, pernah Bapak Bupati kita mengatakan bahwa uang lauk pauk itu dialihkan untuk membangun jalan raya dan infrastruktur daerah." Aku coba mejelaskan.
"Masa... Begitu mudah. Bukankah omongan presiden adalah termasuk hukum yang mesti dilaksanakan?" istri saya yang kebetulan lulusan SLTA dan sehari-hari waktu dimanfaatkan untuk mengurus rumah tangga sambil menonton berita dan membaca majalah coba memberikan tanggapannya.
" Ya.... bu... mungkin Bapak Bupati sudah bertemu dengan Bapak Presiden dan mereka sudah sepakat untuk membohongi kita.... eh....salah...." aku kelepasan bicara.
Aku sadar benar Bapak Presiden adalah simbol negara yang mesti dihormati (makanya aku tidak setuju jika gambar Presiden dibakar, karena itu artinya membakar simbol negara, dan membakar simbol negara sama juga artinya dengan membakar negara mereka sendiri, atau membakar diri mereka sendiri, bukankah mereka adalah bagian dari negara?).
Kembali ke jatah uang lauk pauk di atas.
Menurut saya setiap ucapan presiden mesti ditaati dan dilaksanakan oleh semua pejabat negara, dan jika ucapan tersebut tidak dilaknsankan maka pejabat negara yang bersangkutan telah melakukan tidakan perlawabnan terhadap presiden.
Jadi beberapa pejabat negara seperti beberapa bupati di propinsi Nusa Tenggara Timur yang memanfaatkan uang lauk pauk untuk membiayai proyek pembangunan jalan (sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh salah seorang Bupati di Pulau Flores), maka sesungguhnya beliau telah melakukan tindakan melawan Presiden, dan melakukan tidakan semena-mena terhadap pekerja negara dalam hal ini para pegawai negeri. Bayangkanlah jika uang yang seharusnya digunakan untuk membuat orang tidak lapar digunakan untuk membiayai proyek jalan dan jembatan, bukankah itu berarti........?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H