[caption id="attachment_135751" align="alignleft" width="300" caption="Munasah di depan kandang kuda cidomonya."][/caption] TAK selalu harus menjadi kaya dulu untuk bisa menunaikan rukun Islam kelima, ibadah Haji. Asal ada kemauan pasti ada jalan. Mungkin pepatah lawas itu, yang dipegang dan ditekuni oleh Munasah bin Sinarep, pria berusia 54 tahun, warga Dusun Nyiur Lembang, Desa Jembatan Gantung, Kecamatan Lembar, Lombok Barat. Meski sehari-hari hanya bekerja sebagai kusir cidomo (kereta berkuda khas Lombok, semacam dokar atau delman di Jawa), tapi tahun ini Munasah bisa naik Haji. "Semua karena niat saja. Selama ini apapun saya kerjakan asalkan halal, dan tekun menabung. Alhamdulillah, tahun ini saya bisa menunaikan ibadah haji," kata Munasah, saat saya berkunjung ke rumahnya di dusun Nyiur Lembang, Desa Jembatan Gantung, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat. Sudah beberapa hari ini, rumah Munasah dihiasi dengan tetaring atau terop dari anyaman daun kelapa, dan hiasan janur kuning. Selama itu pula acara syukuran digelar di rumahnya karena Munasah akan berangkat haji pada 22 Oktober mendatang. Saat saya berkunjung ke sana, ucapan selamat menunaikan ibadah haji terbuat dari spaduk vinil masih terpajang di gerbang kecil rumah itu. Munasah mengatakan, untuk berangkat haji tahun ini, ia membutuhkan biaya sekitar Rp31 juta lebih. Dana itu bukan tiba-tiba ada dalam waktu sekejab, apalagi bagi seorang kusir cidomo seperti dirinya. Dana sebesar itu ia kumpulkan bersama istrinya, Nikmah (52), yang sehari-hari berdagang nasi bungkus bakulan, sejak menikah dulu sekitar tahun 1975. Saat menikah dulu, Munasah yang hanya sekolah sampai kelas 3 SD, bekerja sebagai tukang bangunan dengan gaji Rp50 per hari,"Setelah menikah, saya menjadi kusir cidomo, tapi cidomo masih milik orang lain,"katanya. Di sela menjadi kusir, Munasah juga menyabit rumput untuk pakan kuda juragan. Tapi, jika ada kelebihan rumput akan dijual sebagai uang tambahannya. Upah kusir yang ia terima dikumpulkan, selain untuk keperluan makan keluarga. Istrinya, Nikmah, membantu kebutuhan ekonomi dengan berdagang nasi bakulan. "Dulu sebungkus nasi hanya Rp250 saja. Setiap bapak (Munasah) berangkat cari penumpang ke pasar Gerung, saya ikut membawa dagangan nasi untuk dijual di pasar, sampai sekarang sampai sebungkus nasi berharga Rp3.000 sekarang ini," kata Nikmah, istri Munasah mengenang. [caption id="attachment_135752" align="alignright" width="300" caption="Munasah dan istrinya Nikmah, di depan rumahnya di Dusun Nyiur Lembang, Desa Jembatan Gantung, Kec Lembar, Lombok Barat."][/caption] Pasar Gerung adalah pasar umum terbesar di Lombok Barat. Di sinilah Munasah biasa manggal menunggu penumpang cidomo. Berkat menabung, pada tahun 1980, Munasah akhirnya bisa membeli cidomo sendiri sekaligus seekor kuda seharga Rp1,5 juta. Ia pun mulai menjadi kusir cidomo milik sendiri. Pendapatan perhari Munasah saat itu berkisar Rp15 ribu hingga Rp20 ribu, menurutnya cukup untuk makan istri dan empat orang anak perempuannya. "Waktu anak terakhir saya lahir, sekitar 1985, saya mulai bertekad menabung lebih banyak agar bisa naik haji. Saya juga selalu berdoa agar niat ini dikabulkan Allah SWT," katanya. Setelah empat anak perempuannya selesai SMA, Munasah mendaftarkan diri sebagai calon haji melalui Bank Mandiri Syariah pada 2009 silam. Saat itu ia menyetorkan tabungannya yang sudah ia kumpulkan selama bertahun-tahun, sebesar Rp15 juta. Satu dari dua Cidomo miliknya, saat itu terpaksa ikut dijual demi niat suci naik haji, seharga Rp4,5 juta. Padahal harga Cidomo saat ini sudah mencapai Rp10,5 juta. Sisa dana untuk melengkapi ongkos naik haji, selanjutnya dikumpulkan Munasah dan Nikmah secara bertahap dari bulan ke bulan,"Kalau ada rejeki Rp500 ribu, kami langsung setorkan ke Bank," kata Munasah. Untuk tekad kuatnya naik haji, setelah mendaftar calon haji pada 2009, Munasah berangkat ke Pontianak Kalimantan Barat, untuk bekerja di ladang kelapa sawit. Di sana sudah ada menantunya, Syamsuddin dan anak perempuannya yang paling besar Mustiani, yang sudah setahun lebih dulu bekerja di ladang kelapa Sawit itu. Upah menjadi buruh kelapa sawit dengan tekun ia kumpulkan, dan dibawa pulang pada awal 2011 lalu ke Lombok. "Tahun ini ada kabar bapak (Munasah) bisa berangkat, tapi dananya masih kurang Rp11 juta, supaya bisa Rp31 juta lebih. Akhirnya anak-anak membantu dengan menjual perhiasan seadanya. Bapak juga terpaksa menjual cidomonya untuk melengkapi sisanya," kata Nikmah, istri Munasah. Kini di sela waktu berangkat haji, Munasah membantu istrinya berdagang nasi di pasar Gerung, salah satu pasar utama di Kabupaten Lombok Barat. Bagi Rusniani (22), putri bungsu Munasah, sosok ayahnya adalah sosok lelaki penyabar dan tekun bekerja. Niatnya untuk menjadi haji juga sangat kuat dan selalu berserah pada yang kuasa. "Meskipun hanya kusir cidomo, tapi kami bangga sama bapak. Dia mampu menyekolahkan empat anaknya, dan sekarang Alhamdulillah bisa naik haji," katanya. Munasah mengatakan, empat anaknya yang sudah berkeluarga selalu menyarankan agar ia tidak lagi menjadi kusir cidomo sepulang haji nanti. Namun, Munasah mengaku masih rindu dengan profesinya itu. "Mudah-mudahan saya tetap sehat walafiat sepulang haji. Anak-anak minta supaya saya jangan lagi menjadi kusir karena sudah tua, tapi insyaAllah sepulang haji saya akan membeli cidomo lagi, saya masih ingin menjadi kusir," katanya. Dusun Nyiur Lembang, Desa Jembatan Gantung, merupakan salah satu desa tak berpotensi pertanian basah, karena letak geografisnya yang berbukitan. Menurut Sahrun (50), warga setempat, umumnya penduduk berjumlah 200-an Keluarga di Dusun itu berprofesi menjadi buruh tani, tukang bangunan, pedagang, dan kusir cidomo. "Banyak juga yang menjadi TKI ke Malaysia dan Arab Saudi, karena di kampung tidak ada yang punya sawah. Tapi kami bangga dengan pak Munasah, karena dengan kesederhanaan hidupnya ternyata ia bisa menunaikan haji," katanya. Di pulau Lombok, NTB yang terkenal sebagai pulau Seribu Masjid dengan penduduk mayoritas Islam, animo untuk naik haji cukup tinggi. Berdasarkan data Kanwil Kementerian Agama NTB, setiap tahun NTB memberangkatkan sekitar 4.500 orang jemaah calon haji. Banyak kisah tentang masyarakat yang menjual tanah atau ternaknya untuk berangkat haji di Lombok, namun kisah seperti Munasah tak cukup banyak ditemukan. Ia mampu naik haji bukan karena modal turunan dari orangtuanya, tapi berkat tekatnya dan kegigihannya bekerja dan menabung.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H