Mohon tunggu...
Panca Nugraha
Panca Nugraha Mohon Tunggu... profesional -

Saya seorang wartawan, penulis. Bekerja sebagai koresponden harian The Jakarta Post untuk wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lengge, Tradisi Lumbung Pangan yang Masih Lestari

8 Agustus 2011   03:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:00 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman boleh maju, dan teknologi berkembang dengan segala kemudahan, tapi tradisi harus dipertahankan. Itu mungkin yang menjadi pemikiran masyarakat di Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang hingga kini masih mempertahankan tradisi lumbung pangan untuk menyimpan hasil panen mereka. Selain membantu memperkuat sistem ketahanan pangan, kearifan lokal turun temurun itu, juga membuat bangunan lumbung pangan yang disebut Lengge, serta kegiatan pasca panen di sana memiliki potensi pariwisata budaya yang punya daya tarik tersendiri. [caption id="attachment_127658" align="aligncenter" width="640" caption="Para wanita Desa Wawo dan Maria berbusana rimpu, menumbuk alu sebagai bunyi-bunyian musik dalam prosesi hanta fare atau memasukan hasil panen ke Uma Lengge, bakcgrounb bangunan Uma Lengge. "][/caption] Desa Wawo, berjarak sekitar 35 Km arah timur dari Rabba, ibukota Kabupaten Bima. Kompleks Lengge di Desa ini sudah berdiri sejak tahun 1890-an, dan sampai sekarang masih difungsikan. Karena nilai sejarahnya, pemerintah sudah menetapkan kompleks Lengge di Desa ini sebagai situs peninggalan sejarah sejak tahun 1995. Namun, kepemilikan dan penggunaannya masih dikelola masyarakat setempat, terutama ketika beraktifitas pasca panen. Situs Kompleks Lengge terletak sekitar 2 KM dari Kantor Desa Wawo, dan terpisah dari pemukiman penduduk. Di dalam lokasi kompleks terdapat sekitar 96 unit bangunan Lengge, berjajar rapi berbaris dengan jarak sekitar 1,5 meter antara tiap Lengge. Bentuk Lengge mirip bangunan rumah panggung yang dibangun menggunakan bahan kayu dengan atap dari ilalang. Ukurannya sekitar 4 kali 4 meter, dengan tinggi hingga puncaknya mencapai 7 meter. Lengge ditopang empat kaki kayu, setinggi 1 meter. Di atas kaki kayu itu, ada semacam bale-bale tanpa dinding dengan 4 penyangga kayu setinggi 1,5 meter. Di atas bale-bale, ada ruangan berdinding kayu, tempat penyimpanan persediaan pangan. Atapnya dari ilalang yang berbentuk mengerucut ke atas. Untuk menuju ruangan di atas bale-bale, sebuah tangga bambu disiapkan secara terpisah, digunakan sewaktu diperlukan. Seperti biasa, jika musim panen padi tiba, kesibukan terasa di kompleks Lengge. Sejumlah wanita membawa ikatan-ikatan padi dan menaikkannya di Lengge. Penjaga Lengge yang menerima kemudian menyusun ikatan padi itu di ruang atas Lengge. Jika hasil panen berlebihan dan ikatan padi tidak tertampung di Lengge, para wanita akan langsung menumbuknya menggunakan alu dan bambu. Bulir beras yang sudah ditampih dan dibersihkan, kemudian dibawa pulang sesuai pembagiannya. Menurut penjaga komples Lengge, Jon Karim, sejak zaman dulu masyarakat Wawo mengenal Uma Lengge, atau rumah tinggal sekaligus lumbung pangan. Tapi, suatu ketika ada musibah kebakaran, dan seluruhnya terbakar. Barang-barang rumah tangga dan simpanan pangan ludes. Pengalaman itu membuat penduduk setempat memutuskan membuat pemukiman yang terpisah dari kompleks lumbung pangan. Dari cerita turun temurun, setahu Jon Karim, nilai filosofi pemisahan rumah tinggal dengan lumbung agar jika terjadi musibah atau bencana lainnya, masih ada yang bisa diharapkan. ”Kalau rumah terbakar, kita masih punya persediaan pangan, dan sebaliknya kalau lumbung pangan terbakar, kita masih punya rumah dan persediaan uang dan barang. Masih ada yang diharapkan,” katanya. Pelestarian fungsi Lengge secara langsung melestarikan budaya dan semangat gotong royong di masyarakat Desa Wawo. Setiap musim panen tiba, mereka bersama-sama membantu pemilik lahan melakukan panen, sampai menyimpan hasil panennya di kompleks Lengge yang kepemilikannya diperoleh secara turun temurun dari leluhur keluarga masing-masing. [caption id="attachment_123488" align="alignleft" width="300" caption="Tiga wanita Desa Maria saat menaikkan ikatan padi pertama ke Uma Lengge."][/caption] Padi dipanen dengan cara tradisional, dipotong menggunakan ani-ani. Padi sengaja tidak dirontok menggunakan mesin, agar sisa tangkainya bisa diikat untuk digantungkan saat disimpan di dalam Lengge. Ketika padi di Lengge akan digunakan pemiliknya untuk acara hajatan, beberapa tetangga akan membantu. Si pemilik akan menurunkan beberapa ikat padi dari Lengge, sedangkan para tetangga- biasanya sesama wanita- akan membantu proses menumbuk padi pengunakan lalu, hingga proses penumbukan menjadi beras. Selain keunikan bangunan Lengge, aktifitas di sana juga sangat potensial mengundang wisatawan. Seperti siang itu, ketika saya ke sana, belasan wanita sedang menaikan hasil panen ke Lengge, sementara lainnya menumbuk kelebihan hasil panen. Kabupaten Bima terkenal dengan daerah yang panas suhu udaranya. Tapi, siang itu duduk di bale-bale Lengge terasa sejuk. Mungkin karena atap ilalang dan padi yang tersimpan di atas bale-bale, mampu menyerap terik mentari lebih bagus. Penampilan berbusana para wanita di sekitar kompleks Lengge, juga masih memegang erat budaya leluhur. Semua mengunakan rimpu, semacam jilbab atau kerudung, tetapi bahannya dari sarung. Menurut masyarakat di sana, rimpo mampu menandai status perkawinan para wanita. Yang sudah menikah atau sudah punya tunangan, menggunakan rimpu yang hanya menutupi rambut, dan wajahnya tetap terlihat utuh. Sementara gadis yang belum punya tunangan menggunakan rimpu hingga menutupi wajah, hanya menyisakan mata yang terlihat. Biasanya, jika ada hajatan besar seperti syukuran khitanan, atau perkawinan, prosesi menurunkan padi dari Lengge akan sangat ramai. Para wanita yang bergotong royong di kompleks Lengge akan menarikan tarian tradisional dengan musik dari bunyi-bunyian penumbuk alu untuk menambah semangat bekerja. Meski budaya dan semangat gotongroyong masih terjaga, toh pergeseran zaman dan kemajuan teknologi pertanian mulai berpengaruh pada kondisi bangunan Lengge. ”Masyarakat  banyak yang memilih menjual hasil panennya, atau menyimpan hasil panen dalam bentuk beras di rumah mereka,” kata Jon Karim. Akibatnya, dari 96 buah Lengge yang ada di kompleks itu, ada belasan yang rusak karena tak dirawat lagi pemiliknya. Sebagian lainnya sudah dimodifikasi menjadi sedikit modern menggunakan atap dari genteng atau seng. Yang dimodifikasi atapnya itu, disebut Jompa, atau lumbung pangan modern. Kini, hanya 12 unit bangunan di kompleks itu yang benar-benar layak disebut Lengge, sementara 84 bangunan lainnya sudah bergeser menjadi Jompa. Meski sudah banyak yang berubah, Jon Karim merasa yakin tradisi Lengge akan tetap lestari di Desa Wawo. Proses pemilihan penjaga Lengge adalah salah satu contohnya. Penjaga Lengge seperti Jon Karim dipilih masyarakat tiga tahun sekali, jumlahnya 3 orang penjaga. Tidak semua orang bisa terpilih, karena syarat menjadi penjaga Lengge  harus orang yang punya kesaktian kanuragan atau pandai bela diri. “Kita tidak digaji uang, hanya pemilik Lengge akan memberikan sedikit bahan pangan. Bisa berupa padi atau jagung,” katanya. Sebagai juru kunci yang memahami sejarah Lengge, kini para penjaga Lengge juga bisa mendapat penghasilan tambahan setiap kali ada wisatawan yang datang. Wisatawan akan memberikan tip untuk penjelasan yang mereka berikan. “Ada juga wisatawan asing yang datang untuk mempelajari arsitektur bangunan Lengge. Mungkin mereka tertarik membuat rumah dengan pola Lengge, katanya terasa alami dan nyaman,” tukas Jon Karim. Lumbung pangan seperti Lengge di Bima, tentu tidak asing bagi masyarakat Indonesia yang berbudaya agraris. Namun, di sejumlah tempat, pelestarian fungsinya sudah nyaris punah. ”Padahal, ada pesan penting para leluhur saat menurunkan tradisi menyimpan di lumbung pangan. Setidaknya, kalau panen kali ini gagal karena paceklik, masyarakat masih punya cadangan pangan yang bisa menghidupi,” kata penilik budaya Kabupaten Bima, HM Yasin. Melancong ke situs Lengge di Bima saat musim panen tiba, tentu menarik bagi wisatawan. Bukan hanya yang mancanegara, tetapi juga wisatawan domestik. Setidaknya di sini, bisa dilihat langsung tradisi lumbung pangan yang masih terjaga, sementara di sebagian besar daerah di Indonesia tradisi yang sama hanya tinggal cerita.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun