Mohon tunggu...
Panca Nur Ilahi
Panca Nur Ilahi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Rebahan

Limpahkan pemikiran dengan sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Malam

21 September 2020   23:06 Diperbarui: 21 September 2020   23:44 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menoleh ke kanan terlihat gedung dengan pantulan cahaya yang begitu menarik, aku tertegun ke arah gedung itu. Entah mengapa aku ingin mengadu dengannya tentang beban hidup yang aku rasakan. 'Tin...tin tin...' suara mobil di belakang sudah mulai klakson, ternyata jalan sudah mulai lancar kembali. 

Sampai di jalan Mampang aku menarik gas motor ku, karena saat itu jalanan sangat lengang. Aku berhenti di lampu merah mampang, 115 detik mulai menghitung mundur. Entah aku merasa lampu merah kali ini begitu lama, sambil menatap ke atas aku melihat langit malam ini ternyata gelap dan mendung. 

Di balik kaca helm ku, aku teringat dengan semua masalah yang aku alami, dari orang tua ku yang setiap hari bertengkar satu tahun belakang, tugas akhir yang menuntut untuk harus segera selesai, teman yang mengecewakan, semua tulisan yang aku kirim ke media cetak ternyata tidak ada satupun yang lolos tayang. Aku merasa sendirian di dunia ini, dada ini terasa sesak dan sulit bernapas. 

Air mata mulai menetes dari mata yang kupejamkan, begitu lemah diriku. Manusia memang makhluk yang lemah jika tidak bersama tuhan 'hah' aku berteriak sambil membuka kaca helm ku. Namun air mata ini terus berlinang, seorang bapak-bapak menatap diriku dengan tatapan aneh. 

Aku tertunduk dan ternyata air mata ini turun dengan derasnya 'ya yusuf kamu sudah tidak bisa menahannya, keluarkan saja' hati ini memberi sinyal. 

Aku mulai terisak dengan tangis ku di lampu merah mampang, tanpa menghiraukan orang lain aku luapkan rasa beban itu di tengah jalan. Memang lucu rasanya melihat seorang pemuda menangis tanpa sebab di lampu merah. Mengusap air mataku aku mulai menenangkan diri. Apa daya rasa sedih ini terus terlampiaskan, aku merasa ini sebuah abreaction yang sudah lama aku pendam. 

Hujan mulai turun dan menghujani seluruh badan ku, orang disekelilingku beranjak pergi untuk menepi, aku kembali melihat langit dengan air yang begitu deras. Aku terdiam dan melampiaskan semua beban ku di tengah hujan malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun