Mohon tunggu...
Panca Ezza Aisal Saputra
Panca Ezza Aisal Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rusia Vs Ukraina: Tombol Kiamat Makin Dekat?

15 Juni 2023   10:43 Diperbarui: 15 Juni 2023   10:54 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik horizontal antara Russia dengan Ukraina sejak bulan Februari tahun lalu, belakangan ini masih berkecamuk. Huru-hara konflik ini dinilai dapat merembet ke skala yang lebih luas dan memicu perang dunia ketiga. Data yang dihimpun dari catatan Office of the United Nations Highs Komisioner for Human Rights atau OHCHR melaporkan jumlah korban per tanggal 28 Agustus 2022 berjumlah ribuan jiwa. Simak uraian grafik di atas. 

Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, mengungkapkan dalih Vladimir Putin dalam menyerang Ukraina. Putin beranggapan bahwa perintah operasi khusus, termasuk mobilisasi militer parsial baru ini, memiliki target menumbangkan pemerintahan Ukraina hasil pemilihan tidak sah beserta kabinet yang diisi orang-orang bersayap neo-Nazi (Nasution, 2022).


HISTORI KONFRONTASI RUSIA-UKRAINA

Portal Berita CNBC menyebutkan, kronologi yang mendasari ketegangan dua negara hingga alasan Russia menyerang Ukraina yakni kedekatan Ukraina dengan Barat. Saat Cold War terjadi, sejak tahun 1940-an, Russia dan Ukraina menjadi satu kesatuan dalam sebuah federasi yang berjuluk Uni Soviet. Negara berhaluan kiri terkuat pada eranya (Hanggoro, 2022).

Ketika tahun 1991, Pakta Warsawa dan Uni Soviet resmi buyar, pada tahun yang persis pula Ukraina mengadakan referendum dari Uni Soviet. Pemimpin Rusia saat itu, Boris Yeltsin memakbulkan permintaan ini. Selepasnya, pada 18 Desember 1991 Rusia, Belarusia dan Ukraina membentuk Commonwealth of Independent State (CIS). Tetapi kemudian disintegrasi terjadi. Ukraina menduga jika CIS adalah strategi Rusia menyetir negara-negara mantan Uni Soviet. Upaya rekonsiliasi pun kembali dilakukan pada tahun 1997 untuk memperbaiki hubungan.

Kendati demikian jalinan kekerabatan Rusia-Ukraina kembali memanas sejak 2014. Revolusi menentang supremasi Rusia mencuat kala itu. Golongan anti pemerintah berhasil menggulingkan presiden Viktor Yanukovych, rezim Ukraina yang pro-Rusia. Revolusi itu juga memelopori hasrat Ukraina berkoalisi dengan Uni Eropa (UE) dan NATO. Tentunya membuat Putin naik pitam sebab berpeluang besar akan berdirinya pangkalan NATO di dekat negaranya.

Ketika Yanukovych tumbang, di tahun 2014, Rusia memanfaatkan momen kosongnya kekuasaan untuk menganeksasi Krimea, wilayah yang sangat strategis dekat Laut Hitam. Russia juga memberikan dukungan kepada pemberontak separatis di wilayah Donestk dan Luhanks untuk memberontak pemerintahan Ukraina hingga sekarang (Revilia et al., 2022).


PERUBAHAN STATUS PERANG DAN ANCAMAN SENJATA NUKLIR
Tertanggal 21 September 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin mendeklarasikan perubahan status dari operasi militer khusus menjadi mobilisasi militer parsial (Yakti, 2022). Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoygu mengutarakan Rusia akan menyiapkan total 300.000 tentara cadangannya sebagai pasukan tambahan. Meningkat hampir dua kali lipat dibanding jumlah pasukan sebelumnya yang diterjunkan dalam invasi sejak Februari, yang hanya berkisar 190.000 pasukan.

Dalam pidato mobilisasinya, Putin menegaskan bahwa akan melakukan seribu cara untuk membentengi tanah yang telah direbutnya, termasuk didalamnya provinsi Donetsk, Luhansk, Kherson dan Zaporizhia. Ia mengatakan, "Usulan Kementerian Pertahanan dan Staf Umum untuk melancarkan mobilisasi parsial di Federasi Rusia kami dukung demi melindungi Tanah Air, otonomi dan integritas teritorial, serta meneguhkan keamanan rakyat dan wilayah yang dibebaskan."
Imbas pidato patrotik tersebut, beberapa pejabat Rusia melayangkan dukungan penggunaan nuklir. "Senjata apa pun di gudang senjata Moskow, termasuk senjata nuklir, dapat digunakan untuk mengawal wilayah Rusia dari Ukraina." ucap Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev. Ia menambahkan bahwa perlindungan semua wilayah oleh pasukan Rusia telah meningkat secara signifikan. "Rusia telah mengumumkan bahwa semua alutsista Rusia, termasuk senjata nuklir strategis dan senjata terbarukan, serta kemampuan mobilisasi, dapat difungsikan dalam perlindungan tersebut," tambahnya.

Baru-baru ini kapal selam terbesar di dunia Belgorod, kepunyaan negara Beruang Merah itu, diisukan akan melakukan uji coba persenjataan Torpedo Poseidon. 'Senjata Kiamat tersebut awal kali diumumkan oleh Vladymir Putin sebagai kembaran dari rudal Khinzal, yang mampu memikul hulu ledak nuklir. Dilansir dari iNews.id, senjata yang diluncurkan dari kapal selam ini memiliki daya jelajah hingga 10.000 km dengan laju 90 kilometer per jam serta daya ledak mencapai 2 megaton. Sepadan dengan 100 kali bom Atom Hiroshima dan Nagasaki. Keunikan Poseidon dapat tersimpan rapi di dasar laut dalam kurun waktu lama sebelum dilakukan pengaktifan, tentunya alat ini akan sukar dideteksi keberadaanya (Prima, 2022).


MEMICU PERANG DUNIA KETIGA

Menimbang besarnya daya ledak yang dimiliki Torpedo Poseidon memiliki kemungkinan besar menjadi senjata pemusnah massal. Banyak negara khawatir akan penggunaan Poseidon, tak terkecuali Amerika Serikat dan NATO. Apabila Rusia benar-benar menggunakan senjata nuklirnya dalam invasinya maupun menanggapi intervensi Barat, sangat memungkinkan membuat stabilitas sosial-politik dunia bergejolak. Lantaran kini Volodymyr Zelensky secara resmi telah mendaftarkan negaranya menjadi bagian NATO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun