Demokrasi di era sekarang dapat dikatakan sebagai sebuah praktik politik. Istilah demokrasi ini menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam menjalankan system demokrasi, dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Sedangkan untuk istilah politik, Laswell menjelaskan bahwa politik merupakan who gets what, when, how (siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana?). Menurut definisi tersebut, dijelaskan bahwa who atau siapa di dalam politik adalah aktor politik seperti para aktivis, presiden, anggota parlemen, pengurus partai, dan pihak lainnya yang ikut bergulat di dalam dunia politik. Dalam berpolitik, para aktor politik tentu saja mempunyai maksud tertentu untuk mencapai apa yang diinginkan mereka. Hal yang diinginkan (who gets what) tersebut berupa perolehan materi maupun non-materi (seperti: kedudukan, jabatan, kekuasaan).
Sesungguhnya aktor politik melakukan kegiatan politik tidak hanya pada musim pemilihan umum yang dianggap sebagai salah satu ikon demokrasi, akan tetapi mereka menggunakan setiap kesempatan yang mereka punya untuk melakukan kegiatan politik untuk memperoleh atau mencapai keuntungan politik mereka.
Media massa merupakan sebuah medium raksasa yang setiap saat hadir sebagai ruang publik yang menjadi cermin bagi siapapun yang melihatnya. Dampak dari media massa sendiri sangat besar terhadap keberlangsungan kehidupan manusia. Perkembangan sosial politik di dalam masyarakat Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari media massa, khususnya televisi. Dalam bidang demokrasi, media massa seakan akan diabaikan. Sejatinya, media massa memiliki peranan yang kuat dalam sistem demokrasi, karena media tanpa demokrasi tidak akan berjalan dengan baik. Media massa dianggap sebagai ruang publik bagi masyarakat untuk dapat menyampaikan aspirasi atau pendapat. Dan sebaliknya, demokrasi tanpa adanya media tidak akan terlihat dikarenakan media memberikan ruang untuk demokrasi. Hal tersebut telah membuktikan bahwa dunia demokrasi khususnya sosial politik dan dunia televisi merupakan dua dunia yang saling berhubungan di dalam masyarakat. Karena sejatinya perkembangan kegiatan sosial politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari bagaimana semua hal tersebut direpresentasikan di dalam berbagai media massa.
 Manfaat utama media massa dalam sistem demokrasi sering dinyatakan dengan kewajiban untuk menyediakan informasi pada masyarakat mengenai system kinerja pemerintah. Akan tetapi, sulit untuk menemukan alasan yang mendasari media massa sebagai ‘anjing penjaga’ kinerja pemerintah kita. Istilah tersebut mengesankan bahwa media massa telah menjadi perwakilan dari rakyat untuk menjaga dan memperhatikan kinerja pemerintah. Fungsi pers atau media massa dalam negara demokrasi tidak hanya sebagai ‘anjing penjaga’, tetapi seharusnya lebih dari itu. Menurut McNair (2003:21-22) ada lima fungsi media komunikasi dalam masyarakat demokrasi yang ideal yaitu:
·     Pertama, media harus mengiformasikan ( nform) kepada setiap warganegara tentang apa yang terjadi disekelilingnya.
·     Kedua, media harus memberikan pendidikan (educate) menyangkut maksud dan hubungan suatu perstiwa.
·     Ketiga, media harus menyediakan ruang (platform) untuk diskusi publik guna memudahkan terbentiknya pendapat umum.
·     Keempat, media harus memberikan publikasi (publisitas) dalam ranka kontrol (watchdog) terhada institusi-instiusi publik.
·     Kelima, media harus bertindak sebagai lembaga advocacy bagi warga negara dari sudut pandang politik.
 Dengan asumsi bahwa media massa adalah sebagai ‘anjing penjaga’ tersebut mengesankan bahwa pemerintah selalu salah, sementara media massa selalu benar. Media massa sering memandang bahwa institusinya berdedikasi tinggi apabila mereka suskes memperlihatkan kegagalan pemerintah kepada masyarakat. Media massa mempublikasikan informasi yang dapat meningkatkan oplah, mengisi komersial slot tanpa khawatir bahwa informasi yang dipublikasikan dapat berdampak buruk pada masyarakat. Karna sejatinya, media massa umumnya adalah institusi swasta yang hanya berorientasi pada laba.
 Menyadari bahwa persaingan di industri media mulai terasa, media massa yang pada umumnya berorientasi pada laba berlomba-lomba untuk mencari dan menarik perhatian masyarakat dengan menyebarluaskan informasi-informasi yang bersifat sensasional dan dramatisasi. Media massa, khususnya televisi merupakan sebuah ruang elektronik yang didalamnya berlangsung berbagai bentuk eksperimen politik yang berupaya mencipta citra politik tertentu yang digerakkan oleh teknologi politik pencitraan.Â
Akan tetapi kegiatan politik yang hidup di dalam program-program televisi tidak melukiskan realitas politik di Indonesia sesungguhnya. Media massa sering dijadikan sebagai alat politik oleh para petinggi Negara, padahal fungsi penting media massa adalah mengawal demokrasi. Pada dasarnya, media harus mampu mengontrol jalanya kegiatan di pemerintahaan, meski tidak menapikan adanya partai politik. Partai politik sebagai alat menuju demokrasi merupakan salah satu syarat sebagai lembaga resmi dalam sebuah politik. Akan tetapi, media ternyata juga mempunyai kepentingan yang sama, yaitu dapat mampu mengawal partai politik.
Media di Indonesia sendiri hingga saat ini belum mampu sepenuhnya untuk menjadi pengawas kegiatan demokrasi dan wadah aspirasi masyarakat. Media yang seharusnya berperan sebagai pengawas kinerja pemerintahan justru malah menjadi bagian dari sistem politik itu sendiri. Media seharusnya memberikan arus informasi secara netral dan berimbang sesuai dengan fakta yang ada, namun kenyataannya informasi yang disajikan oleh media merupakan informasi yang diolah sesuai dengan kebutuhan para pemilik media selaku gatekeeper dari media itu sendiri.
Hal ini bukanlah sebuah rahasia, banyak sebagian dari masyarakat menyadari hal tersebut. Kesadaran yang muncul di masyarakat tidak lantas merubah hal tersebut, yang berubah adalah cara masyarakat memilih media mana yang akan mereka konsumsi. Disisi lain hal tersebut secara tidak langsung mendorong masyarakat agar lebih cerdas dan selektif dalam memilih arus media yang hendak mereka konsumsi.
Kesalahan yang terjadi dalam media tersebut dikarenakan banyaknya pengaruh dari para politisi yang memiliki power dalam sebuah media. Sebagai satu contoh yang sangat nyata adalah, sebuah jingle dari salah satu partai baru yang selalu dikumandangkan di salah satu group televisi nasional. Secara nalar memang mudah untuk menjelaskan mengapa jingle tersebut yang notabene adalah milik sebuah parpol politik dapat dipublikasikan melalui sebuah group televisi nasional, karena pemilik dari media tersebut adalah ketua umum dari partai itu.Â
Kesalahan yang terjadi tidak semata-mata ada pada pihak penguasa, kesalahan tersebut juga ditunjang dengan adanya celah-celah dari regulasi yang memang bisa dimanfaatkan oleh para penguasa media yang memiliki kepentingan dalam urusan politik. Secara hukum memang tidak salah, dikaji secara ekonomis pun juga tidak salah karena siapa saja yang memiliki modal dapat menguasai sebuah media, karena media menjadi salah satu industri besar era ini.Â
Namun secara moral apakah hal tersebut dapat dibenarkan ? apakah masih sesuai dengan prinsip-prinsip dasar bagaimana seharusnya sebuah media ? saya rasa tidak apabila kita melihat uraian dari dasar teori bagaimana seharusnya sebuah media yang ideal, sesuai dengan yang sudah dijabarkan diatas.
Media tidak lagi netral, arus informasi yang disajikan juga sudah mulai tidak berimbang karena adanya tedensi politik dalam pengolahan dan penyampaian informasi kepada masyarakat. Media tidak lagi menjadi pengawas yang netral dari kinerja pemerintah, justru banyak masyarakat yang mengawasi media karena kinerjanya yang tidak sesuai prinsip awal. Yang berdampak laten bagi masyarakat umum adalah apabila media salah memberikan edukasi bagi khalayak.Â
Dari segi konten yang disajikan justru media memberikan banyak pemahaman yang salah, konten pencitraan dan debat kusir tanpa solusi mengenai isu-isu yang sedang mencuat ke permukaan justru mendidik para khalayak menjadi generasi yang kurang solutif. Karena memang idealnya politik dan media menjadi hal yang terpisah namun saling menguatkan.Â
Dengan adanya media, seharusnya dapat menjadi wadah demokrasi yang positif. Tidak hanya mengawasi namun juga dapat menfasilitasi masyarakat agar dapat dapat berdemokrasi dengan cerdas, sehingga dapat membantu sistem politik yang ada di Indonesia.
Yang terpenting dari tulisan diatas bukanlah pada penilaian kita terhadap media di Indonesia ini. Titik berat dari tulisan ini adalah agar kita dapat paham dengan kondisi yang ada, dan harapannya kita dapat mulai melakukan sesuatu untuk memperbaiki hal tersebut. Apabila masyarakat sudah cerdas dan sudah paham dengan kondisi yang ada, yang dibutuhkan adalah gerakan kecil. Sekecil apapun gerakan kita untuk membenarkan sistem yang ada apabila dilakukan secara bersama-sama dapat menjadi sesuatu hal yang besar.Â
Hal-hal kecil tersebut dapat dimulai dari diri kita sendiri, menjadi pribadi yang kritis dan tidak hanya diam dan membenarkan sebuah kekeliruan merupakan satu hal konkrit yang bisa kita lakukan. Apabila lembaga pengawas yang terkait tidak dapat berbuat banyak, maka kitalah yang akan mengawasi hal-hal yang keliru yang dalam konteks ini adalah media. Apabila kita sebagai khalayak dapat memilah media secara cerdas dan tepat, maka iklim media yang ada juga akan berubah. Karena sebenarnya bentuk dari sebuah media adalah representasi dari apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.
Â
Â
Â
Referensi:
McNair, Brian. 2003; Introduction to Political Communication, London, Reutledge.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H