Di setiap derasnya rintik hujan,
Aku meniti celahnya
Sulit memang jika dibayangkan
Namun kulakukan karena airnya terlalu asam,
Hingga membuat lepuh kulit cokelat ku
Sinar mentari pun tak kunjung benderang
Hanya bersembunyi di balik mendungnya mega
Apakah kami terlalu hina untuk,
Hanya merasakan kehangatanMu?
Aku berusaha bertahan,
Walau ku masih berteduh di Pelataran Rumah Juragan Bawang di Kota ini
Aku pun sadar,
Bahwa ku belum pantas berlaga di Medan Perang
Dengan hanya bertelanjang dada, dan bercelana bahan cekak
Mereka yang hujan-hujanan,
Sudah lebih dulu membuat pakaian yang "pantas",
Ada yang dari besi, perunggu, perak bahkan emas,
Namun anehnya, mengapa pakaian dari uang kertas pun, mampu menahan asamnya air hujanMu?
Apakah asamnya air hujanMu tak mempan padanya?
Ataukah asamnya air hujanMu hanya terasa pada kulit kami yang ringkih?
Semoga tidak,
Aku yakin, bahwa kulit badan kami tidaklah ringkih
Justru Engkau memperingatkan kami agar selalu berpakaian sebagaimana mestinya,
Pakaian yang lengkap, bermartabat, dan berbahan kain nan halus lagi menawan
Aku berusaha demikian karena,
Ku yakin Kau sedang merindukan pertemuan,
Di mana kami berkumpul bersamaMu,
Dalam kehangatan, cahaya dan,
Kesejatian
Brebes, 29 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H