Mohon tunggu...
Pams Saniscara
Pams Saniscara Mohon Tunggu... -

... Tuhan tahu untuk apa ada goresan pena hitam pd kertas putih, bukan unt mengotori yg putih, tp unt memberi makna padanya, krna yg bermakna itu yg berwarna ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perpisahan Tidak Hanya Milik Manusia

4 Juli 2013   14:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:01 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku mempunyai sebuah pohon jeruk yang biasa digunakan sebagai bahan sayur. Di desaku, namanya adalah jeruk sayur, entah apa namanya di daerah lain. Pohon itu tumbuh tujuh tahun lalu, sebelum aku masuk SMA hingga saat ini aku sudah nyaman menikmati suasana kampus. Heran, pohon itu tidak mati atau gugur. Justru selalu saja tumbuh tiap tahun. Daunnya masih hijau dan buahnya juga tetap hijau. Itulah pohonku. Tak kusangka, pagi ini aku memandangi pohon itu dengan cemas. Tampak guratan warna coklat pada beberapa daunnya. Apakah engkau akan mati, wahai pohon jeruk?

Aku ingat ketika pertama kali menanam engkau, itu hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Dulu di pekarangan ini masih ada banyak lahan kecil. Tentunya, memilihmu untuk ditanam di sini juga tidak disengaja. Bukan karena tidak ada bibit lain atau bibit lain lebih mahal. Tidak. Jujur, aku pun tidak tahu kenapa engkau bisa tumbuh. Aku lupa pada momen apa aku membuang biji sehingga engkau bisa tumbuh. Memang, engkau bukanlah manusia yang selalu punya sejarah hidup. Bahkan, ketika banyak berita bayi dibuang oleh ibunya, tapi bayi itu tetaplah punya sejarah pembentukan. Namun, engkau wahai pohon jeruk, tidak pernah ada yang tahu bagaimana sejarahnya engkau bisa tumbuh tinggi di pekarangan. Sayang, sayanglah engkau.

Engkau juga bukan bayi yang hanya bisa meminta bantuan ketika masih kecil. Engkau justru bisa menyatu dengan alam, cuaca dan tentunya Tuhan. Aku yakin, engkau tumbuh karena ada tangan lain yang aku sendiri tidak tahu. Engkau pun tidak pernah menuntut dan balas dendam atas sejarah keberadaanmu. Engkau hanya bertumbuh dan akhirnya menyisakan kebahagiaan bagi kami semua. Engkau membalas ketidakpedulian kami dengan kelebatan buahmu. Engkau hanya diam dan memang diam adalah takdirmu. Ternyata, diam tidak identik dengan putus asa, melainkan tanda giat untuk menunjukkan diri yang sesungguhnya. Entah, aku tidak akan pernah tahu apakah ada sosok manusia yang meniru sifatmu itu.

Saat engkau tumbuh, terlalu banyak sumbangsihmu bagi keluargaku dan tetangga serta kenalanku. Kami tinggal memetik buahmu atau kadang malah dedaunanmu. Apakah engkau merasa saki bila daunmu aku petik? Apakah engkau merasa sedih bila beberapa batang aku tebang karena menutupi jalan? Aku hanya melakukan sesuatu yang menjadi takaran seorang manusia. Namun, aku tidak pernah bisa tahu bagaimana perasaanmu. Apakah engkau punya perasaan? Tentunya tidak. Biarlah, yang penting aku percaya engkau bisa sedih, sakit dan bahagia. Aku hanya hendak katakana, kehadiranmu telah menggembirakan sejumlah manusia. Walau engkau tidak pernah tahu sejarahmu sendiri, tapi engkau mau berbenah dan merangkak meraih takdirmu. Itulah engkau, wahai pohonku.

Kini, apakah sakitmu sudah parah? Ya, tadi aku melihat dedaunanmu sudah mulai coklat. Sesuai teori, engkau memang tua dan layak untuk ditebang. Engkau hendak digantikan oleh pohon lain yang bisa bermanfaat. Kejam sekali ya manusia. Maafkanlah kami, tapi inilah pola manusia yang ditakdirkan menjadi makhluk sempurna. Mati atau tidak, engkau tinggal menunggu waktu penebangan itu.  Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih. Aku tidak tahu cara membalas kebaikanmu. Engkau hanya diam, dan sekali lagi diam adalah caramu untuk menunjukkan diri. Kalau engkau tetap diam walau hendak ditebang, itu karena engkau sadar sudah memberi sepenuh diri apa yang dibutuhkan manusia. Kini, aku hanya akan selalu mengenangmu tanpa ada bekas lagi tentang dirimu. Bayangkan, tempatmu tumbuh itu akan diganti dengan pohon lain. Hilanglah nanti jejakmu. Terkuburlah sudah sejarahmu. Yang jelas, aku menjadi saksi kepergianmu.

Pohon jerukku, ketika engkau hendak ditebang nanti, janganlah marah. Ingatlah selalu bahwa sepanjang kehidupanmu, terlalu banyak orang yang bergantung pada kesuburanmu. Kalau engkau merasa sakit ditempa gergaj, ingatlah bahwa bebatanganmu dulu juga pernah aku tebang agar engkau kelihatan indah. Kalau engkau merasa dicampakkan, ingatlah bahwa aku akan tetap mengenangmu sebagai pohon ajaib. Kalau engkau masih bisa melihat bagaimana kejamnya keinginan beberapa manusia yang hendak menebangmu, ingatlah bahwa banyak orang akan menceritakan kisah kebaikanmu selama ini. Dan, bila akhirnya engkau hilang, terbang dan entah akan jatuh dimana pun, ingatlah bahwa kemunculanmu juga merupakan ketidaksengajaan. Engkau dapat hidup karena menyatu dengan alam, maka ketika engkau dimusnahkan pun, cobalah untuk menyatu lagi dengan alam.

Manusia memang kejam, selalu ingin yang baru. Manusia selalu mau berteman dengan siapa pun yang bermanfaat baginya. Ampuni kami, manusia ini, ya pohon jeruk. Kalau engkau tidak mau mengampuni, itu sama saja dengan membuatku kecewa. Kalau banyak orang mencampakkanmu, masih ada aku yang mengenangmu. Aku berjanji akan merawat pohon apapun yang dulu menjadi singgasanamu di pekarangan ini.

Selamat jalan, pohon jeruk.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun