Mohon tunggu...
Pams Saniscara
Pams Saniscara Mohon Tunggu... -

... Tuhan tahu untuk apa ada goresan pena hitam pd kertas putih, bukan unt mengotori yg putih, tp unt memberi makna padanya, krna yg bermakna itu yg berwarna ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenangan Delapan Tahun

7 Juli 2013   12:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:53 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak sesuatu di dunia ini, tapi seketika dapat hilang. Entah, dengan tiba-tiba, lewat proses ataupun sengaja dilupakan. Aku pindah rumah, maka rumah yang lama benar-benar bisa hilang. Aku lulus sekolah, maka sekolahku  yang lama itu juga akan hilang dan mungkin terlupakan. Namun, ada sesuatu yang amat bisa mendatangkannya kembali. Aku menyebutnya kenangan. Hanya kenangan yang sanggup menghadirkan sesuatu yang telah hilang. Ternyata, kenangan adalah sesuatu yang tidak bisa dibunuh. Tidak akan ada cara apapun yang dapat membinasakan kenangan. Kenangan akan tertempel selalu selama aku masih bisa hidup.

Ketika dulu SMP, aku memandang dirinya sebagai artis. Bagaimana tidak. Dia mempunyai banyak penggemar, cerdas, murah senyum dan tentu saja menarik mata untuk tidak bosan memandang. Sementara aku, tidak ada predikat lebih dari sekedar “pemain urakan”. Aku hanya bisa mengaguminya dari jarak jauh. Namun, yang namanya rasa ternyata tidak bisa dibohongi. Kala itu, teman-temanku yang berjasa menyalurkan perasaanku padanya. Aku gugup, takut bahkan untuk berpapasan dengan dirinya pun aku tidak berani. Itu semua karena dirinya sudah tahu kalau aku mengaguminya. Walau baru tiga bulan di SMP, tapi dirinya sudah tahu perasaanku. Aku rela menjauh dari mereka-mereka yang berniat mengajakku pacaran. Ini kulakukan agar aku terlihat jomblo. Entah, aku hanya menginginkan dirinya. Sayangnya, justru dia menerima cinta dari sahabatku. Apa alasannya? Aku tidak tahu. Yang pasti, dari sahabatku itulah aku tahu bahwa dirinya terlalu matre.

Tatkala itu juga, kekagumanku padanya berkurang. Aku juga tidak merasa “rendah” lagi dihadapan dirinya. Aku memandang dirinya tak lebih dari perempuan kebanyakan. Sekali lagi, perasaan tidak bisa dibohongi. Ternyata aku masih mencintainya. Entah, tiga tahun berlalu tanpa ada tanda-tanda perkembangan berarti. Tiba saatnya ketika perpisahan, kala itu aku hendak mengungkapkan sesuatu yang dulu pernah ada. Lebihnya, setelah dirinya putus dengan sahabatku, secara berurutan dirinya selalu menerima teman-teman yang dekat denganku. Aku yakin tidak ada motif apapun dari dirinya, tapi tiga tahun selalu demikian membuatku galau juga. Maka, ketika perpisahan itulah aku hendak bicara menggunakan hati atau lebih tepatnya perasaan.

Alam tidak mendukung rencanaku. Alam tidak menghendaki dia tahu perasaanku. Ketika aku hendak berbicara dengannya, aku mendapat kabar tentang latar belakang hidupnya. Ternyata, pernikahan orangtuanya bukanlah melalui proses perkembangan cinta. Ibunya menikah demi masa depan yang cerah. Tak kusangka ibunya adalah mantan pelacur. Ketika itu, ibunya kena razia polisi, diproses di kantor polisi dan didenda. Namun, ada seorang polisi yang baik hati karena melihat raut muka syahdu salah satu pelacur itu. Polisi itu mengajak si pelacur cerita dan didapatkanlah info bahwa si pelacur murni bekerja demi uang, bukan karena paksaan atau permainan belaka. Si pelacur bekerja demikian karena tidak punya gelar dan ketrampilan macam apapun. Rasa ibu polisi membuatnya trenyuh hingga dia menawarkan diri menjadi suami. Tentu, si pelacur kaget. Antara bahagia dan terhina. Antara sorak dan tangis. Singkatnya, mereka menikah hingga akhirnya memiliki anak yang sejak dulu menjadi perempuan paling kukagumi itu. Anak perempuan itulah yang nyatanya menjadi cinta pertamaku. Naas, cinta pertama harusnya berhasil tapi justru aku gagal. Kendati gagal, tetaplah dirinya menjadi cinta pertamaku. Kenangan akan dirinya akan selalu hidup.

Ya, di perpisahan itu juga aku tidak bisa mengungkapkan perasaan cinta ini. Sebenarnya, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena secara tidak langsung dirinya telah mengajariku untuk mencintai, berusaha mendapatkan cinta dan tetap tegar bila cinta itu tidak bisa direngkuh. Sejak itulah, kami pisah sekolah. Sebulan, dua-tiga bulan aku masih bisa ketemu dirinya. Aku sudah berani menyapa dan bercanda dengan dirinya. Hanya itu, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku tetap menyimpan perasaan ini. Lalu, setahun, dua tahun hingga kini sudah delapan tahun aku tidak berjumpa dengannya.

Selama itu pula aku hanya mentog menjadi pengagum rahasianya. Aku seneng banget ketika tiap ulang tahun selalu menelponnya dan aku mengatakan tidak akan melupakan hari ulang tahunnya. Entah, aku berharap dirinya mengerti tanda-tanda itu. Delapan tahun, waktu yang semakin membentukku untuk mengerti arti kenangan. Entah, aku sering melihat wajah dirinya dalam wajah orang lain. Apa ini halusinasi? Sepertinya iya. Bagaimana tidak, dia-lah cinta pertamaku. Cinta pertama yang gagal, yang indah, lucu dan bloon. Namun, kenangan akan dirinya tidak akan luntur. Kendati, melalui jejaring sosial aku mengajak dirinya untuk sekadar say hello, tapi tampaknya dia sudah punya calon suami. Rasa acuhnya tidak membuatku marah, justru semakin melestarikan predikatku sebagai pengagum rahasia.

Percaya atau tidak, aku akan tetap mengenangnya. Tidak akan pernah ada perempuan yang bisa menggantikan kenangan dirinya. Amatlah indah dengan situasi kekaguman rahasia ini. Biarlah perasaan ini tetap lestari dalam diriku dan hendak kubawa mati. Mungkin, akan aku serahkan kepada Tuhan walau aku tidak tahu kapan. Perasaan cintaku ini muncul karena keinginanku sendiri. Hanya karena aku sendiri. Dirinya tidak pantas untuk menerima perasaan ini. Dirinya tidak perlu tahu perasaanku dan aku juga tidak akan memaksakan lagi agar dirinya mengetahui hal ini.

Aku hanya ingin berucap terima kasih atas kenangan ini. Kenangan, sesuatu yang tidak akan pernah mati sampai aku mengakhiri ingatanku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun