Mohon tunggu...
PAMILA PUTRI SAFIRA
PAMILA PUTRI SAFIRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pamila Putri Safira 111211235, Universitas Dian Nusantara, Jurusan Manajemen. Nama dosen Prof. Apollo Daito

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Gaya Kemimpinan Gaya Leadership Adolf Hitler

12 November 2024   22:46 Diperbarui: 12 November 2024   22:50 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nazi, yang merupakan singkatan dari Partai Nasional Sosialis Pekerja Jerman, adalah partai sayap kanan di Jerman yang aktif antara 1920 dan 1945. Di bawah kepemimpinan Hitler, partai ini berfokus pada ideologi yang mendukung kebangkitan supremasi bangsa Jerman, khususnya melalui gagasan "ras murni" yang harus dipertahankan dan dikembangkan untuk keutamaan Jerman.

Hitler memandang "ras murni" sebagai sesuatu yang wajib dilindungi dan dikembangkan. Pandangan ini berfokus pada pemurnian ras Jerman dan ekspansi wilayah Jerman untuk meningkatkan "living space" atau ruang hidup bagi ras ini. Hitler meyakini bahwa hanya dengan memperluas wilayah, ras Jerman yang dianggap superior dapat berkembang secara maksimal.

PPT Leadership
PPT Leadership "Adolf Hitler Leadership". Prof Apollo Daito
PPT Leadership
PPT Leadership "Adolf Hitler Leadership". Prof Apollo Daito
Gaya kepemimpinan Adolf Hitler bisa digambarkan sebagai pendekatan otoritarian dan totalitarian. Ia memegang kontrol penuh atas keputusan politik Jerman dan menerapkan aturan yang tidak memberi ruang untuk perbedaan pendapat atau oposisi. Hitler juga dikenal memiliki gaya kepemimpinan karismatik, di mana ia menggunakan keahliannya dalam berpidato dan propaganda untuk menginspirasi kesetiaan masyarakat serta membentuk persepsi publik. Di bawah kepemimpinannya, ideologi superioritas ras menjadi landasan penting. Dalam bukunya "Mein Kampf," Hitler menekankan bahwa ras "Arya" adalah yang unggul dan bahwa kelompok lain dianggap ancaman yang harus dieliminasi. Sikap anti-intelektual yang diambilnya membuatnya menekan kebebasan intelektual, di mana kritik terhadap pemerintah atau pandangan yang tidak sesuai dengan ideologi Nazi ditekan atau bahkan dihilangkan.

PPT Leadership
PPT Leadership "Adolf Hitler Leadership". Prof Apollo Daito
PPT Leadership
PPT Leadership "Adolf Hitler Leadership". Prof Apollo Daito
PPT Leadership
PPT Leadership "Adolf Hitler Leadership". Prof Apollo Daito
Hitler memilih gaya kepemimpinan ini karena pengaruh dari ideologi yang tertuang dalam "Mein Kampf," yang mendorong pemurnian ras dan keunggulan bangsa Jerman. Tujuan politiknya untuk memperluas "ruang hidup" bagi orang Jerman mendorong invasi dan kebijakan yang menimbulkan kekerasan dan Holocaust. Dengan memusatkan kontrol, Hitler bisa menghapus oposisi, memperkuat kekuasaannya, dan mewujudkan visinya tanpa gangguan. Propaganda juga berperan penting, digunakan untuk membangun masyarakat yang terpusat pada ideologi Nazi dengan menekan pandangan yang berlawanan.

Cara Hitler menerapkan kepemimpinannya mencakup tindakan sistematis untuk menghilangkan oposisi, seperti Hukum Nuremberg yang mengklasifikasikan warga negara, membatasi hak-hak, dan memperlakukan non-Arya secara diskriminatif. Ia mengendalikan media dan wacana publik dengan ketat, memastikan bahwa hanya pandangan yang mendukung Nazi yang disebarluaskan. Agresi militer dan ekspansi wilayah juga mencerminkan gaya kepemimpinannya, sejalan dengan ambisinya untuk membentuk ras dominan Jerman. Pemerintah direorganisasi menjadi sistem yang sangat terpusat untuk melayani agendanya, sementara kebijakan sosial dan rasial memandatkan "pemurnian" ras, termasuk penganiayaan dan genosida terhadap kelompok yang dianggap "berbahaya" bagi visinya

Gaya kepemimpinan Hitler yang otoritarian ini sangat menonjol karena memadukan kekerasan fisik dengan manipulasi psikologis. Selain mengandalkan kekuatan militer dan polisi rahasia untuk menekan lawan-lawan politiknya, Hitler juga menggunakan propaganda yang sangat efektif untuk menciptakan citra dirinya sebagai pemimpin yang tak tergantikan. Ia membentuk kultus pribadi (cult of personality), di mana masyarakat Jerman diyakinkan untuk menganggapnya sebagai penyelamat bangsa. Melalui berbagai media, termasuk radio, koran, dan film, Hitler mempromosikan pandangan yang memperkuat ideologi Nazi, membenarkan tindakan kekerasan terhadap kelompok-kelompok tertentu, serta menginspirasi kebencian terhadap mereka yang berbeda ras, agama, atau orientasi.

Selain itu, propaganda juga menciptakan atmosfer ketakutan dan isolasi. Dengan menyebarkan berita yang menyudutkan kelompok tertentu, seperti kaum Yahudi dan gipsi, Hitler berhasil membangun opini publik yang menyetujui perlakuan diskriminatif dan brutal terhadap kelompok-kelompok ini. Tidak hanya propaganda, Hitler juga menggunakan pendidikan sebagai alat ideologis. Sistem pendidikan diubah secara menyeluruh agar nilai-nilai Nazi menjadi bagian dari kurikulum sekolah, mengajarkan anak-anak untuk mendukung kebijakan Nazi sejak usia dini. Buku-buku yang berseberangan dengan Nazi dibakar, sedangkan organisasi pemuda, seperti Hitler Youth, dibentuk untuk mencetak generasi muda yang loyal dan siap berperang demi tujuan Nazi.

Secara struktural, Hitler memusatkan kekuasaan di tangannya dengan membatasi peran lembaga legislatif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan dalam pemerintahan praktis dihapuskan, dengan keputusan akhir selalu berada di tangan Hitler. Dengan demikian, ia menciptakan sebuah negara totalitarian yang sangat sulit ditantang atau dikritik. Setiap aspek kehidupan dikontrol, termasuk seni, budaya, dan agama, yang harus sejalan dengan pandangan dan kepentingan Nazi. Semua ini menjadikan Jerman di bawah Hitler sebagai contoh ekstrem dari pemerintahan otoritarian yang tidak hanya menekan kebebasan, tetapi juga berusaha mengontrol pikiran dan emosi warganya.

Gaya kepemimpinan Hitler dapat dilihat dari kebijakan dan asumsi ideologinya yang ekstrem, terutama terkait isu rasial. Dalam kepemimpinannya, Hitler mengedepankan konsep "ras murni," yang diwajibkan untuk dipertahankan dan dikembangkan oleh negara. Negara bertanggung jawab untuk mendukung "pemurnian" ini dengan kebijakan yang mendiskriminasi serta menghilangkan ras atau kelompok yang dianggap mengancam kemurnian bangsa Jerman. Untuk mencapai tujuan ini, negara siap membiayai perang dan memperluas wilayah demi mendapatkan "ruang hidup" (Lebensraum) yang diutamakan bagi ras "murni" Jermanik.

Selain itu, Hitler menerapkan kebijakan eliminasi sistematis terhadap kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan visi Nazi, yang dikenal sebagai Holocaust. Dalam praktiknya, ini termasuk kebijakan pemusnahan terhadap kaum Yahudi, Gipsi, homoseksual, difabel, dan kelompok lainnya yang dianggap "cacat" atau berbeda. Hukum Nuremberg pada tahun 1935 misalnya, mengklasifikasikan warga negara berdasarkan ras dan keturunan serta melarang perkawinan antara Yahudi dan non-Yahudi, yang memperkuat segregasi rasial dan sosial di Jerman Nazi.

Hitler juga menerapkan pendekatan anti-intelektual, yang berujung pada pelarangan ilmu pengetahuan atau pandangan yang berpotensi mengancam ideologi Nazi. Dengan cara ini, ia mencegah kritik terhadap otoritas, menghancurkan buku-buku atau literatur yang tidak mendukung Nazi, dan menulis ulang sejarah untuk menciptakan narasi nasional yang sesuai dengan kepentingan rezim. Melalui penekanan ini, ia memonopoli wacana publik, menghilangkan pasar ide, dan melarang pemikiran independen, sehingga masyarakat menjadi tunduk pada kekuasaan negara tanpa adanya kemampuan untuk mempertanyakan atau menentang kebijakan negara.

Kepemimpinan Hitler juga ditandai dengan penerapan kontrol total pada hampir semua aspek kehidupan sosial dan politik masyarakat Jerman. Dengan kekuatan penuh sebagai pemimpin, ia membentuk sebuah sistem totalitarian yang menjadikan Nazi sebagai satu-satunya ideologi yang boleh dianut dan dipromosikan. Semua partai politik, serikat pekerja, serta organisasi sosial yang tidak sejalan dengan Nazi dibubarkan atau dipaksa untuk bergabung ke dalam organisasi Nazi. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada ruang bagi oposisi atau perlawanan terhadap kebijakan yang dibuat oleh Hitler.

Dalam rangka menguatkan kontrol ideologinya, Hitler sangat mengandalkan penggunaan propaganda sebagai alat utama untuk mencuci otak masyarakat. Setiap wacana publik, mulai dari pidato hingga konten media seperti koran dan film, diproduksi secara sistematis untuk mengagungkan kepemimpinan Hitler dan membangun persepsi tentang superioritas bangsa Jerman. Propaganda juga digunakan untuk memanipulasi pandangan masyarakat terhadap kelompok yang dianggap "musuh" yang digambarkan sebagai sumber masalah sosial dan ekonomi di Jerman. Penekanan terus-menerus terhadap propaganda ini membuat masyarakat terisolasi dalam pandangan tunggal, tanpa adanya akses ke informasi alternatif yang mungkin menantang ideologi Nazi.

Hitler tidak hanya mengandalkan propaganda, tetapi juga membentuk struktur pemerintah yang menjadikannya sebagai pusat kekuasaan tertinggi. Lembaga-lembaga pemerintahan di Jerman tidak lagi berfungsi sebagai sistem checks and balances, melainkan sebagai alat untuk menegakkan keinginan Hitler. Kebijakan-kebijakan negara tidak dapat dikritik atau diubah karena semua keputusan bersumber dari otoritas Hitler sendiri. Dengan hilangnya fungsi pengawasan dan pengimbangan, masyarakat Jerman hidup di bawah pemerintahan yang tanpa batasan, di mana hukum dan aturan hanya menjadi alat untuk memperkuat posisi Nazi di atas segala sesuatu.

Selain itu, kebijakan pendidikan juga diatur ulang untuk mendukung doktrin Nazi. Kurikulum sekolah dirancang untuk mengajarkan anak-anak nilai-nilai Nazi sejak usia muda, termasuk doktrin kebencian terhadap ras tertentu dan kepercayaan pada superioritas Jerman. Organisasi-organisasi pemuda seperti Hitler Youth dibentuk untuk melatih generasi muda yang loyal terhadap Nazi dan siap menjalankan perintah tanpa mempertanyakan. Dengan strategi ini, Hitler menciptakan generasi yang tidak hanya terdidik dalam ideologi Nazi, tetapi juga siap secara mental dan fisik untuk mendukung agresi militer yang direncanakan oleh rezimnya.

PPT Leadership
PPT Leadership "Adolf Hitler Leadership". Prof Apollo Daito
Hukum Nuremberg memberlakukan klasifikasi warga berdasarkan ras. Warga Jerman murni harus memiliki empat leluhur Jerman, sementara orang Yahudi dan mereka yang memiliki campuran keturunan Yahudi dilarang menikah dengan non-Yahudi, bekerja di lembaga pendidikan, pemerintahan, dan profesi lainnya. Ini merupakan dasar diskriminasi rasial yang sangat ketat

Hitler menolak intelektualitas dan kemajuan intelektual yang dianggapnya berpotensi mengancam kekuasaan Nazi. Ia meremehkan sains, pendidikan, dan literatur yang tidak sesuai dengan pandangan Nazi, serta berupaya mengganti nilai-nilai yang dianggap berseberangan.

Bagian dari anti-intelektualisme Hitler adalah penulisan ulang sejarah. Buku dan literatur yang dianggap bertentangan dengan ideologi Nazi dihancurkan, dan sejarah ditulis ulang untuk mencerminkan pandangan yang mendukung kepentingan Nazi.

Sumber :

Prof Daito, Appolo. Adolf Hitler Leadership. Jakarta : Universitas Dian Nusantara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun