Kepemimpinan Hitler juga ditandai dengan penerapan kontrol total pada hampir semua aspek kehidupan sosial dan politik masyarakat Jerman. Dengan kekuatan penuh sebagai pemimpin, ia membentuk sebuah sistem totalitarian yang menjadikan Nazi sebagai satu-satunya ideologi yang boleh dianut dan dipromosikan. Semua partai politik, serikat pekerja, serta organisasi sosial yang tidak sejalan dengan Nazi dibubarkan atau dipaksa untuk bergabung ke dalam organisasi Nazi. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada ruang bagi oposisi atau perlawanan terhadap kebijakan yang dibuat oleh Hitler.
Dalam rangka menguatkan kontrol ideologinya, Hitler sangat mengandalkan penggunaan propaganda sebagai alat utama untuk mencuci otak masyarakat. Setiap wacana publik, mulai dari pidato hingga konten media seperti koran dan film, diproduksi secara sistematis untuk mengagungkan kepemimpinan Hitler dan membangun persepsi tentang superioritas bangsa Jerman. Propaganda juga digunakan untuk memanipulasi pandangan masyarakat terhadap kelompok yang dianggap "musuh" yang digambarkan sebagai sumber masalah sosial dan ekonomi di Jerman. Penekanan terus-menerus terhadap propaganda ini membuat masyarakat terisolasi dalam pandangan tunggal, tanpa adanya akses ke informasi alternatif yang mungkin menantang ideologi Nazi.
Hitler tidak hanya mengandalkan propaganda, tetapi juga membentuk struktur pemerintah yang menjadikannya sebagai pusat kekuasaan tertinggi. Lembaga-lembaga pemerintahan di Jerman tidak lagi berfungsi sebagai sistem checks and balances, melainkan sebagai alat untuk menegakkan keinginan Hitler. Kebijakan-kebijakan negara tidak dapat dikritik atau diubah karena semua keputusan bersumber dari otoritas Hitler sendiri. Dengan hilangnya fungsi pengawasan dan pengimbangan, masyarakat Jerman hidup di bawah pemerintahan yang tanpa batasan, di mana hukum dan aturan hanya menjadi alat untuk memperkuat posisi Nazi di atas segala sesuatu.
Selain itu, kebijakan pendidikan juga diatur ulang untuk mendukung doktrin Nazi. Kurikulum sekolah dirancang untuk mengajarkan anak-anak nilai-nilai Nazi sejak usia muda, termasuk doktrin kebencian terhadap ras tertentu dan kepercayaan pada superioritas Jerman. Organisasi-organisasi pemuda seperti Hitler Youth dibentuk untuk melatih generasi muda yang loyal terhadap Nazi dan siap menjalankan perintah tanpa mempertanyakan. Dengan strategi ini, Hitler menciptakan generasi yang tidak hanya terdidik dalam ideologi Nazi, tetapi juga siap secara mental dan fisik untuk mendukung agresi militer yang direncanakan oleh rezimnya.
Hukum Nuremberg memberlakukan klasifikasi warga berdasarkan ras. Warga Jerman murni harus memiliki empat leluhur Jerman, sementara orang Yahudi dan mereka yang memiliki campuran keturunan Yahudi dilarang menikah dengan non-Yahudi, bekerja di lembaga pendidikan, pemerintahan, dan profesi lainnya. Ini merupakan dasar diskriminasi rasial yang sangat ketat
Hitler menolak intelektualitas dan kemajuan intelektual yang dianggapnya berpotensi mengancam kekuasaan Nazi. Ia meremehkan sains, pendidikan, dan literatur yang tidak sesuai dengan pandangan Nazi, serta berupaya mengganti nilai-nilai yang dianggap berseberangan.
Bagian dari anti-intelektualisme Hitler adalah penulisan ulang sejarah. Buku dan literatur yang dianggap bertentangan dengan ideologi Nazi dihancurkan, dan sejarah ditulis ulang untuk mencerminkan pandangan yang mendukung kepentingan Nazi.
Sumber :
Prof Daito, Appolo. Adolf Hitler Leadership. Jakarta : Universitas Dian Nusantara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H