Banyak media memuja memuji Jokowi setiap hari dengan kesederhanaannya, dengan blusukan dan merakyatnya. Bagi kalangan yang kurang terdidik, berita itu cukup membentuk kesan, bahwa Jokowi adalah sosok yang memang sederhana. Baju seharga seratus ribu, celana seharga seratus duapuluh ribu, jam tangan seharga seratus limapuluh ribu, dan lain sebagainya, bagian dari cara meyakinkan masyarakat tentang kesederhanaan jokowi.
Benarkah Jokowi sosok yang sederhana dan merakyat? Dan bagaimana media bisa mengatakan Jokowi sebagai tokoh yang sederhana?
1. Jika sederhana, tentu tidak bisa mengakses media
Sangat banyak orang sederhana di negeri ini. Namun mereka tidak pernah mengakses dan diakses media, karena media ada harganya. Jika memang sederhana, maka sebagaimana kebanyakan orang lainnya, Jokowi pasti tidak akan diakses oleh sebegitu banyak media.
Sangat banyak pemimpin bangsa yang hidup sederhana dan bersahaja, namun tidak memiliki uang belanja media karena memang orangnya sederhana dalam artian sesungguhnya. Maka mereka ini tidak pernah terkenal karena tidak pernah diakses media yang sangat mahal harganya.
2. Perlu biaya trilyunan untuk pencitraan sederhana
Di belakang Jokowi terdapat segudang konglomerat bermasalah. Seperti James Riyadi, dan konglomerat lainnya, mereka getol mendukung Jokowi. Dana trilyunan rupiah mereka gelontorkan untuk operasi pencitraan Jokowi melalui berbagai sarana.
Pertama, melakukan survei abal-abal melalui lembaga survei ternama. Survei bayaran ini hasilnya sudah dipesan, pasti untuk memenangkan Jokowi dan membuat pencitraan positif terhadap Jokowi.
Kedua, membayar pengamat independen. Para pengamat independen ini sangat bernafsu untuk berkomentar soal peluang menang Jokowi, dengan menggunakan hasil survei bayaran tersebut. Surveinya sudah tidak benar, dikomentari pengamat yang juga tidak benar.
Ketiga, blocking media. Mereka membayar media televisi, koran, majalah dan media cyber untuk memuat hasil survei dan komentar para pengamat bayaran tersebut. Media pun dibayar mahal, untuk menyediakan space bagi semua beritu tentang Jokowi.
Seorang awak media menceritakan kepada saya, bahwa sangat banyak jatah waktu tayang televisi yang diblock untuk pemberitaan Jokowi, juga jatah space koran yang diblock untuk pemberitaan Jokowi. Sedemikian banyak yang diblock, padahal keterdsediaan bahan berita tentang Jokowi sangat terbatas. Karena masih banyak space kosong yang sudah dibayar, dan media harus mempertanggungjawabkan dengan mengisi semua blocking tentang Jokowi, maka apapun akhirnya masuk menjadi berita di media massa.
Jokowi duduk jadi berita, Jokowi minum jadi berita, Jokowi kencing jadi berita, Jokowi berdiri jadi berita. Itu karena sangat besarnya blocking media yang sudah dibayar mahal, sementara berita tentang Jokowi sangat terbatas. Maka apapun menjadi berita, demi mengisi media yang sudah dibayar.
Dana untuk blocking media ini trilyunan rupiah. Kalau memang merakyat, sebaiknya itu digunakan untuk kebaikan masyarakat saja, bukan untuk belanja iklan. Masih sangat banyak masyarakat hidup menderita, namun sayang calon presiden justru menghamburkan harta untuk kampanye dirinya.
3. Jika memang merakyat, tidak perlu tim branding
Jokowi memiliki tim branding dari lembaga branding terkemuka. Setiap pekan jadwal kegiatan Jokowi sudah dibuat dan Jokowi tinggal memainkan perannya saja sebagai boneka. Hari Senin dia mengunjungi pasar mana, diliput media apa, pernyatannya apa, semua sudah disiapkan tim branding. Hari Selasa dia masuk selokan mana, diliput media apa, pernyataannya apa, semua sudah ada skenarionya. Tidak ada yang sidak, semua sudah direncanakan oleh tim branding yang dibayar mahal.
Jika memang sederhana, pasti tidak mampu membayar tim branding. Jika memang merakyat, pasti tidak memerlukan skenario rumit untuk memenuhi hari-harinya yang penuh kepalsuan itu.
Bukti Kepalsuan Survei
Direktur An Nashr Institute, Munarman SH, mengatakan dirinya hingga saat ini tidak percaya dengan yang namanya survei politik. Hal ini diungkapkan saat dia menjadi narasumber di acara Temu Pembaca Suara Islam (MTI-TPSI) ke 40 yang bertema “Mengkaji Pergerakan Politik Non Muslim 2014″ di Masjid Baiturrahman, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (22/2/2014).
Munarman membuktikan sendiri bagaimana tipu-tipu survei itu dilakukan. Kejadiannya beberapa tahun lalu saat menjelang pemilu 2004 lalu.
“Tahun 2004, menjelang pemilu, saya diundang rapat CSIS (Center for Strategic and International Studies), saat itu saya masih di dunia sekuler. CSIS ini adalah jaringan Katolik di Indonesia. Didalangi Cina, Pengusaha dan Amerika. CSIS adalah agen Amerika langsung, intelnya Amerika, perpanjangan Amerika langsung di Indonesia,” ungkapnya seperti ditulis SI online Sabtu (22/4/2014).
Dalam rapat CSIS yang mengundang seluruh LSM-LSM dan beberapa ormas, Munarman mengungkapkan bahwa pada saat itu, rapat diarahkan oleh para dedengkotnya untuk menentukan siapa calon presiden berikutnya. Merujuklah pada satu nama, yaitu SBY.
Setelah itu Munarman bercerita bagaimana ia didatangi oleh Deny JA, pendiri LSI (Lembaga Survei Indonesia).
Kepada Munarman, Denny mengatakan, “Saya sudah lakukan survei elektabilitas, saya survei dan sepertinya SBY unggul diatas Megawati. Tapi memang keunggulan itu kami buat sengaja untuk pembentukan opini supaya masyarakat ikut terpengaruh dengan survei tersebut. Dan memang saya bekerja untuk menaikkan SBY, membangun opini bahwa SBY itu baik.”
“Saya cuma minta satu, agar anda jangan mengkritik SBY. Kalo anda mau, diam tutup mulut, 10 juta untuk anda setiap bulan,” bujuk Denny kepada Munarman.
Dari situlah, mantan ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini tidak percaya lagi dengan survei-survei politik.
“Sampai hari ini saya ga percaya yang namanya survei. Makanya sekarang, survei Jokowi mau meledak meleduk, ga ada urusan, jangan percaya, itu dibikin!” tegas Munarman.
Dia juga mengungkapkan skenario bahwa selama ini kaum kapitalis menguasai negeri ini dengan menggunakan pemimpin “boneka” yang telah mereka siapkan.
“Mereka maunya Indonesia dipimpin oleh boneka saja, yang boneka itu bisa mengikuti kemauan mereka. Siapa yang mau jadi boneka, maka dinaikkan. Apalagi boneka yang sudah sejak awal diketahui anti syariat Islam, itu makin didukung,” kata Munarman.
Stop Kebohongan Publik
Sangat disayangkan jika masih ada masyarakat Indonesia yang percaya bahwa Jokowi itu sederhana dan merakyat. Jelas-jelas Jokowi didukung para musuh rakyat, berupa konglomerasi yang merugikan negara selama ini. Jelas-jelas Jokowi diback up dana trilyunan rupiah untuk block media dan branding, sehingga pencitraan berhasil dilakukan.
Syukurlah masyarakat tidak bodoh saat ini, sehingga tidak akan mudah ditipu. Masyarakat sudah sangat muak dengan kepura-puraan. Saatnya melihat dan memilih dengan cerdas. Jangan menjadi korban branding dan pencitraan.
Selamatkan Indonesia dari para penipu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H