Aku pengikut Kristus. Sehingga umumnya sering  disebut sebagai orang kristen, Kristiani, atau Nasrani (yang merujuk kepada desa Nazareth tempat Kristus dibesarkan). Tulisan ini sengaja aku buat semata untuk meluruskan beberapa stigma negatif mengenai orang Kristen. Sehingga diharapkan kesetimbangan dalam relasi hubungan antar umat beragama dapat menjadi lebih baik lagi, melalui pemahaman-pemahaman dari sudut pandang agama masing-masing. Itu sebabnya tulisan ini menolak untuk mengkampanyekan keunggulan melalui referensi text kitab suci, melainkan menginformasikan esensi dasar, dan doktrin dasar dari kitab suci dari sudut pandang penulis. Itu sebabnya penulis memohon maaf tidak melayani debat agama disini, namun silakan berkomentar sebebasnya dengan catatan sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat kita yang majemuk ini. Demikianlah,  di bawah ini beberapa stigma-stigma tersebut dibahas.
1. Orang Kristen sering dianggap hidup tanpa hukum agama, yang menuntun kehidupan. Stigma ini tidak benar. Orang kristen berkomitmen untuk hidup sesuai tuntunan hukum Tuhan yang tertulis dalam Alkitab yang terdiri dari dua bagian besar yaitu perjanjian lama dan perjanjian baru. Lebih jauh lagi,  Hukum Tuhan tersebut juga terpatri didalam hati, dan dengan pimpinan dan pertolongan Roh Tuhan, Orang Kristen berkomitmen untuk menaatinya dengan sepenuh hati. Itulah sebabnya melalui tuntunan hukum Tuhan, kontribusi terhadap pembangunan peradaban manusia dilakukan oleh orang Kristen dari segala abad dan masa.       Â
2. Orang Kristen dianggap percaya kepada Alkitab yang palsu. Tidak ingin berdebat panjang pada soal ini. Ringkas saja,  jika barang itu palsu tentu sudah tidak mampu menempuh kurun waktu yang panjang selama ribuan tahun, bertahan dalam pengujian, sebagai penuntun kehidupan, dan dipercayai oleh milyaran manusia . dimuka bumi ini, yang mengakui kebenarannya. Karena itu bagi kami orang Kristen Alkitab itu dipastikan bukanlah  barang palsu.
3. Orang Kristen dianggap permisif terhadap kemungkaran, bahkan dianggap menyukai minuman beralkohol, dan makanan haram (dari sudut pandang lain). Orang kristen diajarkan untuk menghadapi kemungkaran dengan tidak anarkis. Orang Kristen dianjurkan untuk mengasihi bahkan musuh sekalipun. Sehingga pendekatannya selalu dimulai dengan kasih. Pendekatan inilah yang seolah-olah memunculkan kesan permisif. Namun kesan itu tidak benar, karena didalam kasih selalu terkandung ketegasan terhadap standar moral, yang hanya akan dimunculkan  pada waktu yang tepat. Mengenai minuman beralkohol, Alkitab menuntun bahwa kemabukan yang bisa membawa kepada perbuatan-perbuatan dosa, itulah seharusnya yang dihindari. Alkohol pada kadar tertentu pada daya tahan masing-masing orang, dapat membawa efek mabuk, dan kehilangan kontrol diri sehingga rentan terhadap godaan-godaan nafsu. Mengenai makanan haram. Alkitab mengajarkan bahwa apa yang masuk ke dalam tubuh manusia tidaklah mengharamkannya, karena itu semua dibuang ke jamban. Tetapi apa yang mengharamkan manusia adalah apa yang keluar dari mulut dan hatinya misalnya perkataan kotor, dusta, pikiran kotor, dendam, kebencian, kelicikan dan sebagainya, termasuk seluruh penyakit hati yang bisa disebutkan. Mengenai babi, meskipun diharamkan di dalam perjanjian lama, selama menanti penggenapan keseluruhan perjanjian Tuhan, namun di perjanjian baru, yang merupakan penggenapan hukum taurat yang bersifat sementara, makan babi atau tidak makan makan tidak lagi menjadi penting. Sebab soal makan memakan itu tidak membuat manusia menjadi lebih dekat kepada Tuhan. Hubungan manusia dengan Tuhan pencipta alam semesta yang sangat berjarak dan jauh itu, hanya bisa menjadi dekat melalui seorang Perantara yang telah ditentukan sejak dari mulanya yaitu Kristus, yang telah mencurahkan darahNya sebagai korban yang sempurna. Bukan melalui soal makanan. Itulah esensi iman Kristiani.   Jadi soal tidak makan babi atau makan babi adalah pilihan belaka, yang tidak membawa efek apa-apa terhadap keselamatan. Ada golongan Kristen yang sama sekali tidak makan babi. Ada juga yang memilih untuk memakannya. Dan dari golongan yang memilih memakannya, ada juga yang berdisiplin membatasi konsumsinya agar tidak berlebihan.
Demikianlah kira-kira yang bisa saya sampaikan. Mungkin masih ada lagi stigma-stigma yang terlewatkan dalam tulisan ini. Lain kali jika ada waktu dan kesempatan akan aku bahas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H