Mohon tunggu...
Palty
Palty Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Amatir

amatiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diskriminasi Pembagian Harta Warisan pada Wanita Batak Toba (Selamat Hari HAM ke-67)

15 Desember 2015   15:00 Diperbarui: 15 Desember 2015   16:14 3994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sistem kekerabatan pada masyarakat patrilineal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba ternyata juga mempengaruhi kedudukan janda yang merupakan anak perempuan. Kedudukan janda menurut adat bertitik tolak pada asas bahwa wanita sebagai orang asing sehingga tidak berhak untuk mendapat warisan, namun selaku istri turut memiliki harta yang dimiliki suami karena adanya ikatan perkawinan (harta bersama). Oleh sebab itulah, janda pada masyarakat Batak Toba ada suatu ketentuan, yaitu apabila janda diintegrasikan ke dalam kerabat suaminya, ia dapat menetap di sana dan mendapat nafkahnya. Akan tetapi, apabila janda tersebut memisahkan diri dari kerabat suaminya, janda tidak akan pernah berhak membawa benda milik suaminya.

Kenyataan yang sangat ironis dalam budaya atau adat Batak Toba, jika seorang perempuan menjadi janda cerai karena kematian suami maupun janda cerai hidup suami, maka dia tidak berhak mendapatkan apa-apa dari harta suami dan harta yang mereka kumpulkan bersama. Dapat dikatakan seorang janda bagi masyarakat Batak Toba sangat menderita, dia tidak mendapat hak warisan dari orangtuanya dan dia juga tidak berhak mewarisi harta suaminya.

Maka dalam kenyataannya, seorang janda cerai karena kematian suaminya maupun janda cerai hidup tidak berhak mendapatkan warisan dari suaminya, hanya sebagai pengguna atau pemakai untuk sumber hidupnya. Harta dari suaminya akan diserahkan kepada anak laki-lakinya jika ada, namun apabila dalam keluarga tersebut tidak memiliki anak laki-laki maka warisan akan diwariskan kepada saudara laki-laki suaminya.

Ideologi Menyalahi Aturan Hukum Konstitusi

Masalah warisan memang selalu enak untuk dikaji, karena tidak jarang masalah hukum yang satu ini menjadi biang kerok rusaknya tatanan ikatan persaudaraan.
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah, uang atau tanah tidak diberikan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan hukum yang berlaku. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).

Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair.
Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan. Mereka yang berhak menerima warisan dibagi lagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris.

Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal suatu saat nanti. Ini semua termasuk dibahas mengenai persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris.

Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa kategori yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan.

Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris. Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.

Berdasar uraian diatas, tentu tidak ada alasan lagi bagi suatu keluarga Batak Toba untuk mendiskriminasikan perempuan selama tidak terjerat masalah dalam hukum undang-undang yang berlaku. Pembagian warisan secara absentantio tentu tidak mengenal pembagian warisan berdasarkan gender sehingga sangat cocok untuk menaikkan harkat maupun derajat perempuan suku Batak Toba dalam pembagian warisan.
Sementara pembagian warisan secara testamentair mungkin kurang berpihak pada perempuan karena orangtua maupun alamarhum suami sebagai pemberi warisan tentu tidak ingin melanggar falsafah adat dengan memberikan surat wasiat berisi pemberian warisan kepada anak perempuannya atau istri.

Dewasa ini sistem hukum adat yang patrilineal yang dianut suku Batak Toba dalam hak warisan bagi anak laki-laki sedang mendapat ujian berat. Hal ini berkaitan dengan peraturan hukum nasional bagi seluruh warga negara Indonesia, dimana anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam pembagian warisan. Oleh sebab itu hukum adat Batak tersebut kemudian disesuaikan. Anak laki–laki dan perempuan adalah sama dalam pembagian warisan. Namun dalam kenyataannya tidak sama, dalam prakteknya yang terjadi anak perempuan tetap tidak pernah mendapatkan harta warisan orangtua maupun almarhum suaminya bagi seorang janda meskipun sudah ada peraturan dari hukum nasional atau konstitusi.

Kedudukan laki-laki dan perempuan Batak Toba sama dalam pembagian warisan sepertinya tidak terlalu kuat meski telah dipertegas pasca Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961. Penerapan amanah undang-undang tersebut belum secara penuh dan bulat menyelesaikan sengketa waris pada adat Batak Toba, apalagi penyelesaian sengketa warisan melalui peradilan negara akan berimplikasi terputusnya hubungan persaudaraan yang sangat kontradiksi dengan falsafah dasar masyarakat Batak Toba Dalihan Na Tolu (DNT); somba marhula-hula (hormat kepada keluarga pihak istri), manat mardongan tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga) dan, elek marboru (mengayomi wanita) .
Pengadilan Negara yang mengadili sengketa harta warisan sejatinya hanyalah terbatas pada harta benda fisik an sich, sementara warisan non fisik tidak pernah tersentuh Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang merupakan hak waris fundamental tradisional berdasarkan kultur budaya Batak Toba. Sehingga pilihan penyelesaian sengketa warisan Batak Toba perlu dipertimbangkan matang, seksama dan hati-hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun