Keamanan pangan adalah hal yang sangat mendasar dan merupakan hak asasi bagi konsumen. Dengan demikian tidak ada kata kompromi terkait keamanan pangan yang dikonsumsi masyarakat.
Terkait keamanan pangan, selain aspek bahan bakunya, tak bisa dipisahkan dengan kemasan pangan. Bahan pangannya aman tapi kalau kemasannya tidak aman, tentu saja, akan berdampak buruk dan berbahaya pada konsumen sebagai pengguna komoditas pangan. Terutama terkait dengan masalah kesehatan konsumen.
Sampai saat ini kemasan pangan yang paling efisien dan praktis adalah kemasan dari plastik, apapun jenis plastiknya.
Sayangnya, selain berdampak buruk terhadap lingkungan, kemasan plastik juga berpotensi mencemari bahan pangannya. Mengingat bahan baku plastik itu mengandung zat tertentu yang karsinogenik (pemicu kanker) bagi kesehatan manusia. Termasuk dalam hal ini adalah masih adanya penggunaan zat Bhispenol A (BPA), khususnya pada kemasan produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) jenis galon, botol, dan gelas.
Regulasi mengenai BPA di Indonesia sebetulnya sudah cukup jelas dan memenuhi standard keamanan yang ditentukan. Misalnya, untuk kemasan botol bayi yang berusia 0 tahun - 3 tahun harus bebas dari kandungan zat BPA (BPA Free). Sedangkan untuk kemasan botol untuk orang yang berusia di atas 3 tahun, menurut regulasi, kandungan BPA skornya maksimal adalah 0,06 bpj (bagian per juta) dan tidak ada migrasi yang melewati standard yang sudah ditentukan tersebut.
Saat ini, seiring perkembangan gaya hidup masyarakat yang makin peduli dengan kesehatan, banyak negara di dunia yang telah merevisi ketentuan BPA dan bahkan beberapa negara secara tegas melarang penggunaan BPA untuk pembuatan produk kemasan. Tercatat sudah ada sepuluh negara yang telah meninjau ulang penggunaan BPA untuk produk-produk kemasan.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa kini menerapkan standard lebih tinggi untuk penggunaan BPA, yang semula standardnya 0,05 bpj sekarang jadi 0,04 bpj.
Sementara di Amerika Serikat, tepatnya di Negara Bagian California, menginstruksikan para produsen di sana untuk menyebutkan bahwa kandungan BPA pada botol dapat menimbulkan kanker.
Kepedulian banyak negara atas keselamatan dan kesehatan warga terkait penggunaan BPA dalam produk kemasan dapat kita jadikan benchmarking. Sekarang sudah saatnya standard BPA yang ditetapkan pemerintah Indonesia segera direvisi dengan standard yang lebih tinggi. Standard yang tinggi untuk BPA ini akan memberikan perlindungan pada masyarakat lebih kuat. Bagaimanapun BPA adalah unsur zat kimia yang dapat mencemarkan pangan dan tentu saja tidak layak konsumsi.
Menurut Prof. Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD -- KHOM, FACP, dokter spesialis penyakit dalam yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI), komponen BPA pada kemasan plastik dapat menjadi pemicu kanker (karsinogenik).
Memang butuh waktu dalam menetapkan standard yang tinggi terkait BPA ini. Perlu masa tenggang yang cukup untuk memberikan waktu kesiapan bagi sektor industri. Sebagai contoh di Perancis untuk menetapkan standard tinggi memerlukan waktu selama tiga tahun.