Sampai saat ini, tempat Final Piala Presiden 2015 antara Persib dan Sriwijaya FC belum bisa dipastikan. Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), yang awalnya ditetapkan sebagai tempat pagelaran final diragukan kesiapannya. GBK dianggap tidak kondusif untuk laga final. Hal ini disebabkan karena sejarah buruk antara pendukung Persib, viking, dan pendukung Persija, Jakmania. Sejarah buruk yang beberapa kali mengakibatkan hilangnya nyawa suporter.
Kekhawatiran itu sangat jelas tampak ketika Ketua umum Jakmania yang merupakan suporter Persija Jakarta, Richard Achmad Supriyanto, diundang ikut rapat bersama dengan Mahaka Sports sebagai pihak penyelenggara dengan Kepolisian Metro Jaya.
"Kami bukan berarti menolak final di GBK. Namun, kami khawatir dengan situasi dan kondisi di Jakarta," kata Richard kepada Kompas.com, Senin (12/10/2015) malam.
Richard mengaku khawatir dengan adanya oknum-oknum yang memanfaatkan laga final untuk mencemarkan nama Jakmania. "Kalau sudah keputusan yah harus diikuti. Takutnya, oknum yang bermain. Bisa saja The Jak jadi kambing hitam," tuturnya. (Kompas.com)
Meski masing-masing Ketua Umum suporter Jakmania dan Viking memberikan jaminan bahwa mereka tidak akan rusuh dan menjaga keamanan masing-masing suporter, tetap saja tidak bisa menjamin oknum yang bisa memicu kerusuhan,
Setali tiga uang dengan Richard, Ketua Viking, Herru Joko, juga tidak bisa menjamin kerusuhan yang disebabkan oleh oknum.
"Yang rusuh paling oknum. Saya bisa pegang, nggak ada kerusuhan. Di Bandung tidak pernah ada kerusuhan. Kami saling menjaminlah," kata Herru saat menghadiri rapat di Biro Ops Polda Metro Jaya, Selasa (13/10/2015). (Kompas.com)
Jika semua mengelak bertanggung jawab saat terjadi kerusuhan dan menyalahkan oknum, maka GBK bukanlah tempat yang tepat menggelar final Piala Presiden 2015. Sepakbola yang seharusnya menjadi sebuah hiburan malah menimbulkan suasan mencekam. Bahkan Polda Metro Jaya menyiapkan siaga 1 jika final digelar di Jakarta. Ini mau perang atau menonton sepakbola?
Kedewasaan suporter kita memang masih sangat rendah. Siap menerima kemenangan, tidak siap menerima kekalahan. Siap menerima kesalahan wasit yang dialami tim lawan, tetapi tidak siap menerima kesalahan wasit pada tim kesayangan. Yang dipikirkan hanya kemenangan. Kekalahan tidak bisa diterima dan pada akhirnya membuat kerusuhan. Kekhawatiran akan sikap suporter yang belum dewasa dapat kita rasakan ketika melihat tim Mitra Kukar harus pakai Panser untuk masuk ke dalam stasion Jalak Harupat di pertandingan leg 2 semifinal Piala Presiden 2015.
Karena itu, pertimbangan CEO Mahaka Sports and Entertainment, Hasani Abdulgani, yang menilai Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali, sebagai tempat yang cocok untuk menggelar final Piala Presiden 2015 adalah hal yang sangat baik. Daripada memaksakan final digelar di Jakarta yang tidak kondusif untuk suporter Persib, memindahkan pertandingan final ke Bali adalah keputusan yang sangat bijak. Banyak hal yang bisa dihindari dan sejarah kelam sepakbola Indonesia pun bisa dihindari.
Menghindari preseden buruk penyelenggaran even olahraga di Indonesia harus dilakukan semaksimal mungkin. Jangan sampai dunia Inernasional hilang kepercayaan akan stabilitas keamanan Indonesia sehingga berpengaruh kepada layak tidaknya Indonesia, khususnya Jakarta, menyelenggarakan even Asian Games. Pertaruhan yang sangat beresiko dan membuat nama Indonesia buruk di mata dunia.