Mohon tunggu...
Palti West
Palti West Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya Orang Biasa Yang Ingin Memberikan Yang Terbaik Selagi Hidup. Twitter dan IG: @Paltiwest
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Tulisan analisa pribadi. email: paltiwest@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisruh Bantaran Waduk Pluit, Antara HAM dan Komersialisasi Lahan Negara

17 Mei 2013   12:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:26 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cara paling jitu telah dilakukan oleh para penguasa lahan negara di bantaran Waduk Pluit. Mereka melaporkan nasib mereka kepada Komnas HAM dengan dalih HAM mereka telah dilanggar. Tanpa banyak tanya dan hanya mengandalkan laporan sepihak dari segelintir warga yang melapor, Komnas HAM mengindikasikan ada 4 dugaan pelanggaran HAM yang terjadi.

Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, mengatakan pelanggaran pertama yang dilakukan Pemprov adalah pelanggaran atas hak informasi warga. Selain itu, Pemprov melanggar hak atas rasa aman. Ketiga pelanggaran atas hak kesejahteraan. Sementara pelanggaran keempat adalah merampas hak tempat tinggal warga.

Setujukah anda dengan keempat dugaan tersebut?? Saya dengan sangat tegas mengatakan tidak setuju. 4 dugaan yang disebutkan Ketua Komnas HAM tersebut tidak ada yang benar. Informasi mengenai penggusuran sudah sangat jelas dan sudah dilakukan komunikasi. Tetapi ada sebuah kelompok yng mengkomersialisasikan bantara Waduk Pluit memberi fakta yang berbeda.

"Terlalu banyak kelompok di sana. Mereka punya kepentingan yang berbeda, ada yang menggerakkan, ada yang murni. Tetapi yang lebih banyak digerakkan orang lain," kata Jokowi perihal adanya pengembang-pengembang kecil yang mengkomersialisasikan lahan negara.

Masalah utama di bantaran Waduk Pluit bukanlah warga yang tidak mampu melainkan adalah warga mampu yang mencari untung dengan menyewakan rumah susun yang mereka bangun di bantaran Waduk Pluit. Mereka telah mendapatkan untung banyak dari komersialisasi lahan negara dan menuntut negara mengganti rugi atas bangunan yang mereka bangun di atas lahan negara.

"Mereka itu banyak yang punya kamar sewaan. Orang-orang inilah yang enggak mau kegusur. Kalau orang yang ngontraknya sih malah seneng kalau dikasih rusun. Ya, sewanya lebih murah," kata Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Gubernur DKI Jakarta, di Balaikota, Jumat (17/5/2013).

Basuki mengungkapkan, satu orang saja bisa memiliki belasan kontrakan. Mereka mau dipindahkan asal mendapat ganti rumah susun sesuai dengan jumlah pintu yang mereka miliki. Oleh karena itu, pemerintah daerah tidak bisa mengabulkan permintaan warga kaya di bantaran Waduk Pluit.

Jika mau adil, seharusnya Komnas HAM memperkarakan mereka yang membangun rumah susun atau rumah kontrakan di bantaran Waduk Pluit. Karena tindakan mereka itu telah mengancam HAM ribuan bahkan jutaan warga Jakarta lainnya. Bayangkan apa yang terjadi jika Waduk Pluit tidak dinormalisasi dan akhirnya mengakibatkan banjir besar di Jakarta.

Kondisi Waduk Pluit saat ini sudah sangat kritis. Luas waduk semula 80 hektar, dengan kedalaman mencapai 10 meter. Kini, luas waduk yang tersisa tinggal sekitar 50 hektar, dengan kedalaman 1-3 meter. Jadi, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta adalah demi HAM ribuan dan jutaan warga Jakarta.

Jadi, seharusnya Komnas HAM bisa lebih arif mengeluarkan pendapat dan pernyataan sebelum berdiskusi dengan Pemprov Jakarta, atau setidaknya mengikuti pemberitaan yang ada. Jangan sampai dijadikan tameng agar komersialisasi lahan negara terus diizinkan. Karena komersialisasi lahan negara yang diperuntukkan menjadi fasilitas umum daerah pelindung kesejahteraan dan keamanan warga secara keseluruhan bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat.

Saya berharap para komisioner Komnas HAM bisa lebih banyak lagi belajar mengenai HAM sehingga tidak terjebak dalam pemahaman yang salah dan politisasi yang tidak ada gunanya. Apalagi sampai digunakan sebagai tameng oleh mafia yang mengkomersialisasikan lahan negara.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun