Mohon tunggu...
Cagar Fadli Ibrahim
Cagar Fadli Ibrahim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Berdialektika lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dari ALP hingga Australia's Voice Party: Menilik Peran Fatima Payman dalam Panggung Politik di Australia

25 Oktober 2024   09:02 Diperbarui: 25 Oktober 2024   09:02 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran Perempuan dalam Percaturan Politik di Australia

Peran perempuan dalam politik Australia telah mengalami perkembangan signifikan sejak awal abad ke-20, tepatnya ketika perempuan telah memperoleh hak pilih pada tahun 1902. Sejak saat itu, keterlibatan perempuan dalam dunia politik terus meningkat, meskipun menghadapi berbagai tantangan yang mewarnainya. Perempuan pertama yang terpilih sebagai anggota parlemen Australia ialah Edith Cowan pada tahun 1921 yang selanjutnya memberikan inspirasi bagi generasi perempuan di masa mendatang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik (Gilchrist & Brooks, 2023). Pada masa modern, representasi perempuan di parlemen Australia telah mengalami peningkatan. Saat ini, sekitar 38 persen anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 57 persen anggota Senat adalah perempuan (Ghazarian et al., 2023). Meskipun terlihat adanya kemajuan yang signifikan, kesetaraan gender dalam politik Australia belum sepenuhnya tercapai. Banyak perempuan yang masih menghadapi hambatan, seperti stereotip gender dan budaya politik yang didominasi oleh laki-laki.

Tantangan lain yang dihadapi perempuan di politik Australia adalah norma-norma sosial yang sering kali memandang laki-laki sebagai pemimpin yang lebih cocok. Hal ini mempersempit ruang bagi perempuan untuk berambisi menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Meski demikian, melalui kebijakan afirmatif, seperti kuota gender yang diterapkan oleh partai politik, semakin banyak perempuan yang mampu mencapai posisi penting dalam politik nasional. Dengan adanya kebijakan kuota gender dan inisiatif untuk mendukung kandidat perempuan, representasi perempuan di Australia pun terus meningkat. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengatasi hambatan budaya dan sosial yang menghalangi kesetaraan gender dalam politik. Tanpa upaya yang berkelanjutan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan ambisi politik perempuan, ketidaksetaraan gender akan terus mewarnai dinamika politik di Australia (Ghazarian et al., 2023).

Fatima Payman dalam Politik melalui ALP

Sebagai sebuah partai politik tertua di Australia, Australia Labour Party (ALP) telah memberikan signifikansi mendalam terhadap perpolitikan di Australia. Khususnya mengenai perjuangan para buruh yang tergabung di dalam serikat-serikat pekerja, organisasi masyarakat maupun gerakan-gerkan revolusi sosialis untuk mengupayakan representasi mereka di dalam pemerintahan demi terwujudnya kesejahteraan terhadap kepentingan hak-hak para pelaku industri khususnya buruh (Smith, 1993). 

Setelah Perang Dunia II, pengaruh kelas menengah di Australia semakin besar, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan suburbanisasi yang menciptakan tatanan sosial baru di negara tersebut. Australian Labor Party (ALP), yang awalnya merupakan representasi politik bagi pekerja dan serikat buruh, mulai menyadari pentingnya merangkul kelas menengah untuk tetap relevan dalam lanskap politik yang berubah sesuai perkembangan zaman (Smith, 1993). Transformasi sosial ini memaksa ALP untuk memperluas wadah kebijakannya, tidak hanya berfokus pada hak-hak buruh tetapi juga mencakup kebijakan yang menarik bagi kelas menengah, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur. Peningkatan kesejahteraan ekonomi dan aspirasi sosial dari kelas menengah mendorong ALP untuk memperkenalkan kebijakan yang lebih inklusif dan progresif, yang pada akhirnya mengubah orientasi politik partai tersebut dengan menghadirkan representasi yang lebih inklusif dan luas.

Dalam konteks ini, perempuan dan kelompok minoritas muslim merupakan salah satu kelompok terasing dalam politik di Australia, tetapi hal itu tidak menegasikan fakta bahwa kondisi politik saat ini jauh lebih moderat dan hangat. Hal itu tercermin pada sosok seperti Fatima Payman sebagai perempuan Muslim berhijab pertama yang hadir di parlemen Australia, yang juga menjadi bagian dari narasi penting tentang upaya ALP untuk memperluas basis dukungannya dari kelompok minoritas yang selama ini kurang terwakili dalam politik arus utama Australia. Payman, seorang politisi Muslim berdarah Australia-Afghanistan ini merupakan senator terpilih yang diusung oleh ALP dalam pemilihan umum legislatif di Australia Barat pada periode 2022–2028. Namun, meskipun ALP berhasil memberikan ruang bagi Payman sebagai anggapan representasi dari kelompok minoritas, isu-isu kontroversial seperti konflik Israel-Palestina menunjukkan bahwa ketegangan ideologis masih ada di dalam partai, terutama ketika pandangan pribadi sebagaimana yang diutarakan oleh Payman dianggap tidak relevan jika keputusan partai melalui kaukus telah bulat mengenai suatu isu yang dibahas di parlemen (Massola & Thompson, 2024). Payman sendiri merupakan seorang senator yang mendukung kemerdekaan Palestina dan satu-satunya senator dari ALP yang bersebarangan dengan pandangan ALP di parlemen mengenai konflik di Palestina. Hal tersebut pun berdampak  pada memburuknya dinamika hubungan antara Payman dan ALP yang pada akhirnya bermuara pada penangguhan status keanggotan partai dari Fatima Payman hingga keluarnya Payman dari ALP pada bulan Juli 2024 (Muroi, 2024). 

Melanjutkan Estafet Perjuangan dengan Mendirikan Australia’s Voice

Pasca mendeklarasikan dirinya sebagai senator independen di parlemen, Fatima Payman menyebutkan bahwa ALP telah kehilangan jati dirinya dengan menampik salah satu pedoman utama berdemokrasi yaitu kebebasan menyatakan pendapat pribadi di ruang-ruang publik sebagaimana yang Payman lakukan di dalam parlemen (Butler, 2024). Meskipun pandangan mengenai suatu isu di dalam parlemen harus berdasarkan keputusan kaukus partai, ALP tetap memperbolehkan pandangan yang berdasarkan keputusan pribadi jika itu berkaitan dengan isu moralitas seperti aborsi, eutansia, genosida dan penelitian kloning embrio (Tillet, 2024). Akan tetapi, dalam kasus Payman kita bisa menemukan bahwa terdapat kontradiksi yang cukup nyata dipertunjukan, sehingga hal itu berujung pada anggapan Payman terhadap ALP sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. 

Pada akhirnya, untuk tetap berkomitmen pada tali kebenaran dalam menyongsong kehdiupan masyarakat Australia yang lebih baik dan inklusif, Payman mendirikan Australia’s Voice Party. Dengan tekad yang kuat dan berani, Fatima Payman mengatakan di dalam pidatonya, “If we have to drag the two major parties kicking and screaming to do what needs to be done, we will.” Payman melihat bahwa Australia membutuhkan platform politik yang lebih inklusif, yang tidak hanya mewakili pandangan kelas menengah dan kelompok mayoritas, tetapi juga mampu menyalurkan aspirasi kelompok minoritas dan perempuan dalam politik. Australia's Voice sendiri dirancang untuk mencerminkan nilai-nilai kesetaraan, keadilan sosial, dan inklusivitas, dengan tujuan memperluas representasi politik bagi mereka yang selama ini merasa terpinggirkan. Partai ini juga diharapkan dapat menarik pemilih dari kelompok "teal" atau progresif serta generasi muda sebagai salah satu kelompok penting di dalam masyarakat (Muroi, 2024).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun