Gadis itu sedang menyeberang jalan menuju Alor. Memakai jins hitam ketat dan kaos warna abu-abu dengan tas ransel merek Deuter warna hitam. Dia mau mengejarnya, tetapi tiba-tiba bayangan gadis itu tak terlihat lagi. Namun cepat-cepat dia tersadar. Untuk apa mengejarnya? Bukankah gadis itu sudah membuatnya malu di depan para penungunjung perpustakaan yang sedang membaca buku ketika itu.
Dia kemudian berjalan ke arah sebaliknya dari yang dituju gadis yang menurutnya agak aneh tadi. Dia menuju mal Sungei Wang Plaza. Ada sesuatu yang dicarinya di sana. Itu tujuan utamanya tadi datang jauh-jauh dari Shah Alam. Tapi pada intinya, dia ingin bersantai, menikmati kesendirian. Dia mau ngajak Dewi tadi sebenarnya, tetapi kemarin gadis itu bilang kalau dia ada acara di kampusnya. Martino juga tak bisa pergi. Dia harus menyelesaikan tugas untuk dikumpul. Jadilah dia ke Bukit Bintang seorang diri.
Dewi jadi berangkat ke Inggris ketika itu. Dia mengambil master bisnis di University of Leicester. Abi ingin mengantarkannya sampai bandara ketika itu, tapi Dewi tak membolehkannya. Ia bilang tak ingin berangkat dengan membawa tangis.
"Mengapa harus menangis?" Abi bertanya.
"Kita hampir selalu bersama setiap hari. Aku pasti akan membayangkan hari-hari di sana tanpa bertemu denganmu..."
"Kamu akan bertemu banyak teman baru. Mungkin banyak mahasiswa atau warga Indonesia yang tinggal di sana..."
"Tapi mereka bukan kamu..."
"Aku akan selalu mendoakanmu..."
"Iya..."
Abi menemani Dewi nongkrong di sebuah kafe di Kuningan ketika itu. Tak jauh dari Pasar Festival. Dewi ingin nongkrong sampai pagi. Ingin bersama Abi semalaman.
"Kamu juga pasti akan bertemu kawan baru di Kuala Lumpur, nanti," kata Dewi dengan suara agak serak. "Mungkin salah satunya akan menjadi salah satu gadismu..." (bersambung)