MULUT Abi menganga. Beberapa detik dia tak bisa berkata apa-apa. Kata-kata Dewi seperti menusuk hatinya. Selama ini mereka dekat, gadis itu tak pernah meminta apapun darinya. Tapi, kali ini dia memohon. Memintanya "menemaninya" kuliah di Inggris. Di Leicester. Sementara keinginannya hanyalah ke Kuala Lumpur. Atau, jika itu tak juga mampu dilakukannya, dia bisa meneruskan kuliah di Jakarta, atau tetap di Bandung. Atau lagi, jika memang semuanya tak mungkin, dia akan mencari pekerjaan dulu. Menjadi wartawan. Cetak maupun di televisi. Dia punya ilmu tentang itu. Dia kuliah di bidang itu. Ketika di Bandung, dia juga  kerja part time di Bandung Globe, sebuah koran harian di sana.
Dia menghela napas sejenak. Kemudian, "Mengapa harus aku, Dew?" katanya kemudian.
"Aku percaya padamu..." jawab gadis itu.
"Aku tahu. Tapi... Jangan menghiba padaku. Aku tak akan bisa menolaknya... Please!"
Kali ini justru Dewi yang terdiam mendengar itu.
Kini ia bisa memahami bahwa apapun yang dilakukannya, Abi tak akan bisa. Jika pun bisa, itu karena terpaksa. Seperti kata-katanya tadi. Jika ia menghiba, Abi pasti mau bersamanya ke Leicester. Tetapi itu semu. Badannya saja yang akan berangkat ke sana. Ada di sana. Tetapi hatinya tak pernah akan ada di sana. Dewi tak mau itu. Dia ingin, jika Abimanyu mau ke sana, itu muncul dari kesadarannya, dari keinginannya sendiri. Jika itu karena terpaksa, maka ia bisa memahami bahwa Abi tak menginginkannya.
"Aku tak akan menghiba atau memohon padamu..." katanya kemudian. "Aku tahu kamu tak akan mau ikut denganku... Maksudku, kuliah bersamaku di sana, apapun yang akan kulakukan untukmu. Jika kamu mau pun, pasti bukan karena keinginanmu. Itu makanya kamu bilang: 'Jangan menghiba padaku. Aku tak akan bisa menolaknya... Please!'. Baiklah. Aku akan pergi sendiri. Aku akan ke sana sendiri. Kamu tak perlu memikirkan aku..."
Dewi tahu, dia harus kuat. Dia tak boleh menangis di depan lelaki ini. Dia harus bertahan. Dia tahu, sedikit saja dia goyah maka air matanya akan tumpah. Dia sudah berada di pintu kelopak matanya.
"Bukan begitu maksudku..." kata Abi dengan suara yang terdengar agak berat dan serak.
"Aku tahu maksudmu... Aku mengenalmu sudah lama. Tak apa. Aku akan berangkat sendirian ke sana. Aku akan penuhi keinginan papa..."
Abi masih teringat itu semua. Dia melihat ke luar ruang tunggu MRT Bukit Bintang itu. Jalanan masih basah, tetapi hujan sudah mulai reda. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Tiba-tiba matanya melihat seseorang: gadis yang membuatnya penasaran di perpustakaan negara tempo hari, yang di tangannya memegang buku buku Control of Land and Labour in Colonial Java karya Jan Breman.