DEWI sudah tahu tabiat Abi yang begitu. Sudah tahu bagaimana gayanya kalau sudah dekat dengan gadis-gadis cantik berjidat mulus, berbibir merah delima --kata Abi kepadanya suatu kali ketika ditanya apa warna kesukaan untuk bibir gadis-gadis--- dengan bodi seksi plus kaki belalang. Sebuah gambaran yang sudah jelas: itu gambaran gadis model.
Ketika masih di Bandung dulu, salah seorang temannya, Raditya, menyadarkannya tentang Dewi Utari. "Bro, coba lihat dengan mata kepala yang jernih. Bukankah sebenarnya yang kamu cari pada semua gadis-gadis yang kamu perlakukan seperti baju itu, semua ada pada Dewi?"
"Kuperlakukan seperti baju?"
"Ya iyalah. Apa namanya kalau nggak begitu. Baju ketika masih bagus, wangi, kamu pakai. Setelah lecek di badanmu karena keringatmu, kamu buang ke kotak pakain kotor..."
"Lalu apa hubungannya baju dengan Dewi Utari?"
"Lihat tuh..." Raditya menunjuk kea rah Dewi yang sedang berjalan menuju lobi fakultas. "Kurang apa dia coba? Bodinya, rambutnya, wajahnya, kakinya... Bukankah tipe seperti dia yang selama ini kamu cari?"
"Wah, sakit kamu nih Bro. Mana mungkin aku sama dia. Kami sahabatan sejak awal. Nggak ada istilah kami harus pacaran atau apa namanya. Tuhan nggak ridho. Marah nanti Dia..."
"Wah, jangan bawa-bawa Tuhan dong... Ini urusan dunia, Men..."
Kadang, Abi merasa apa yang dikatakan oleh Raditya ketika itu, juga Martino saat ini, ada benarnya. Kurang apanya dengan Dewi? Dia memiliki segalanya, lebih dari sekadar gadis yang kudambakan. Dia selalu ada ketika aku membutuhkannya. Selalu memperhatikanku. Dari apakah aku sudah makan sampai apakah odol untuk sikat gigiku sudah habisa atau belum. Jangan-jangan, benar kata Martino, dia kuliah ke sini juga karena aku? Tapi, ah tidak... Abi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Angin malam berhembus semakin kencang. Jika tadi hanya terasa semilir dan hanya membuat daun-daun bergerak perlahan, kini embusannya sudah membuat daun-daun itu terasa akan terbang. Jika tak kuat lengket dengan ranting-ranting, mungkin daun-daun itu sudah beterbangan. Â Beberapa orang yang tadi duduk di bangku-bangku di bawah beberapa pohon, juga tinggal beberapa yang masih ada di sana. Satu per satu sudah pergi meninggalkan bangku-bangku di bawah pohon di pinggir pelataran parker itu.
Dia kemudian juga beranjak dari sana. Berjalan ke arah lobi flat, menuju lif, memejet tombolnya, kemudian masuk ke dalam. Dia pilih tombol nomor lantainya, setelah itu lif bergerak ke atas. Setelah sampai, dia keluar dan menuju flatnya. Sesampai di dalam, dia masih sempat melihat ke kamar Martino yang tetap berada di posisinya seperti saat dia keluar tadi. Setelah itu dia masuk kamarnya. Dia mengganti celana jinsnya dengan celana sport pendek merek Libertad berwarna merah hati. Setelah itu dia menuju tampat tidurnya.
Di kepalanya masih terngiang apa yang dikatakan Martino tadi, juga Raditya dulu saat masih kuliah di Bandung. Apa yang kurang dari Dewi Utari? Apa yang kurang? Bentuk tubuhnya? Kecantikannya? Kebaikan hatinya? Ketenangannya? Kedewasaannya? Semua ada, bukan? Lalu, mengapa kau sia-saikan dia? Kau cari semua itu pada beberapa gadismu, sementara kau biarkan dia melihatmu dari jauh dengan wajah dingin saat kau merangkul salah satu gadismu?
Dia berusaha memejamkan matanya. Namun wajah Dewi kembali datang ke dalam pikirannya, berulang-ulang. Datang, pergi, datang, pergi, dan datang lagi. Dia tak ingin terjebak dalam situasi seperti ini. Walau bagaimanapun, Dewi adalah gadis paling dekat dengannya. Yang lain boleh datang dan pergi, tapi Dewi tak pernah pergi. Jika hubungan saat ini diubah menjadi hubungan kekasih, maka jika suatu saat dia pergi, maka hampir pasti tak akan pernah kembali. Maka, persahabatan, kini terbukti, lebih kekal dari percintaan. Dia tak ingin mengubah itu seperti mungkin Dewi juga tak menginginkan perubahan itu.
"Aku tak akan bisa jatuh cinta kepada lelaki seperti kamu," kata Dewi suatu saat. Di telinga Abi, itu sebuah candaan.
"Kita buktikan nanti. Jangan merengek-rengek ya kalau nanti kamu benar-benar jatuh cinta padaku?" kata Abi pura-pura serius.
"Aku serius," kata Dewi lagi. "Lelaki seperti kamu tak akan membuat tentram perempuan..."
"Kenapa?" tanya Abi penasaran.
"Karena ketika kamu bersama seorang gadis yang di mana kalian terikat hubungan kekasih atau apalah namanya, matamu sering memandang, berpaling ke arah gadis-gadis lainnya yang menurutmu lebih cantik..."
"Hahhaaa... kamu salah menilaiku..."
"Sekian lama kita berteman. Aku tahu semua akal bulusmu jika itu sudah berhubungan dengan gadis-gadis cantik..." (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H