Mohon tunggu...
Sadewa Putra Palagan
Sadewa Putra Palagan Mohon Tunggu... Editor - Penulis, peminat buku dan film

Saya lahir dari keluarga petani di Pati, Jateng, kemudian hijrah ke Jambi, kuliah di Padang, dan kini tinggal di Pekanbaru, Riau.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kuala Lumpur Love Story (6)

5 Desember 2018   22:53 Diperbarui: 5 Desember 2018   22:58 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MARTINO sudah tidur sekitar sejam yang lalu. Tangan kanannya masih memegang buku berwarna merah keungu-unguan milik Ayu Utami itu. Buku kedua setelah Saman yang sangat laris di masa itu, menjelang hari-hari terakhir Soeharto dan Orde Baru-nya berkuasa. Novel Saman dan Larung dibicarakan di mana-mana. Dianggap sebuah karya sastra yang berani menyuarakan orang-orang tertindas, yang disuarakan oleh sekelompok anak-anak muda yang bergerak di bawah tanah melakukan perlawanan. Novel yang memenangkan lomba di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1998.

Abi sudah membaca Saman, tetapi belum Larung. Membaca novel yang pertama itu, dia merasa ada "bau" beberapa novel Amerika Latin yang pernah dibacanya. Salah satunya The House of the Spirits. Novel epik yang ditulis salah satu novelis besar Cili, Isabel Allende, ini, telah memukau banyak orang. Isabel, yang merupakan  sepupu mantan Presiden Cili, Salvador Allende, yang digulingkan dan dihabisi dalam kudeta militer yang didalangi Augusto Pinochet, menulis kisah tentang ranji sebuah keluarga hingga kudeta tersebut terjadi yang memakan anak-anak Esteban Trueba sendiri.

Di pernah membaca novel itu. Juga pernah nonton film garapan sutradara Bille August itu secara streaming. Film yang dilepas ke pasar tahun 1993 itu masih memperlihatkan Jeremy Irons yang gagah dan berkharisma, Meryl Strepp yang tak pernah kehilangan kecantikan, atau Antonio Banderas dan Winona Ryder yang masih muda dan ranum. Sederetan aktor dan aktris ikut ambil bagian dalam film yang berakhir agak menyedihkan itu.

Abi hapal hampir setiap lekuk cerita novel dan film itu. Itulah mengapa ketika dia membaca Saman, dia membaui ada aura itu. Juga, bagaimana aroma realisme magis yang dibangun di kebanyakan novel-novel Latin, juga terasa dalam dua novel milik Ayu itu.

Namun baginya tak masalah. Karya-karya Ayu menjadi contoh keberanian dan keuletan seorang mantan jurnalis-aktivis dalam menyuarakan persoalan-persoalan masyarakat secara terbuka, termasuk keberaniannya dalam masalah seksualitas. Dia menilai, bukan persoalan kevulgaran seks, tetapi ada kohorelasinya dengan persoalan yang diangkatnya, yang selama ini oleh sebagian pengarang wanita masih dianggap tabu.

Diambilnya buku itu dari tangan Martino. Beberapa saat dilihatnya sampul depannya, kemudian membolak-balik beberapa halaman isinya. Di novel ini, bukan Wisanggeni alias Saman yang menjadi fokus ceritanya, tetapi seorang aktivis lainnya, Larung, yang dikejar-kejar inteljen, dan sedang diupayakan untuk diselundupkan ke Amerika. Namun, Saman, Laila, Yasmine, Cok, atau Sihar masih menjadi pengendali cerita.

Tak bisa tidur, Abi kemudian keluar kamar flatnya dan menuju lif. Dia turun ke lobi, kemudian keluar gedung itu. Dia menuju pelataran parkir. Kemudian duduk di salah satu bangku yang berada di bawah sebuah pohon. Di siang hari, pohon ini sangat rindang dan menjadi salah satu tempat favorit banyak orang untuk duduk bersantai. Ada beberapa pohon lain di tempat itu yang di bawahnya juga ada bangku agak panjang yang bisa diduduki 3-4 orang.

Lama dia duduk sendirian di situ. Ingatannya masih terngiang pada apa yang dikatakan Martino tadi. Tentang Dewi Utari Maheswari. Gadis yang dikenalnya di tahun pertama saat masuk Fakultas Komunikasi di Unpad, lima tahun lalu. Sama-sama dari Jakarta, tetapi mereka tak berasal dari satu sekolah. Mereka sangat dekat, akrab, selalu berbagi, saling mengalah, dan tak ada istilah cemburu atau iri ketika masing-masingnya dekat dengan lawan jenis yang lain.

Abi bukannya tak pernah pacaran. Dia beberapa kali dekat dan bahkan merasa serius dengan beberapa mojang. Tapi dia tetap membagi waktu untuk Dewi. Beberapa di antaranya memang menjadikan Dewi sebagai alasan untuk mengundurkan diri karena merasa Abi sering menghabiskan waktunya bersama gadis itu ketimbang bersama dirinya.

Kini Abi baru ingat, selama mereka bersahabat, tak pernah sekalipun Dewi memperkenalkan seorang cowok kepadanya yang diakui sebagai kekasihnya. Yang sering diperkenalkan hanya sepupunya, adiknya, teman-teman magangnya... Tak satu pun dari mereka diakui sebagai pacarnya.

Itu berbeda dengan dirinya. Selama menyelesaikan kuliah empat tahun, entah sudah berapa gadis yang diperkenalkannya kepad Dewi sebagai pacarnya. Kadang Dewi menyeletuk, "Kemarin katanya yang terakhir... Kok ini bilang lagi yang terakhir?"

Abi hanya tersenyum sambil garuk-garuk kepala kalau Dewi sudah bicara begitu.

"Ya, maksudnya, yang kemarin itu ya berakhir karena nggak cocok..." katanya beralasan, sambil senyum-senyum.

"Nggak cocok atau ada yang lebih mulus dari dia?" kata Dewi agak menyindir.

Kembali, Abi hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang terasa tak gatal. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun