DIA terbangun menjelang Maghrib. Tak langsung bangkit, dia terlihat malas-malasan. Martino yang dari tadi asyik membaca novel, menjeling sejenak. "Bangunlah. Salat Maghrib-lah dulu..." kata Martino.
"Kapan kamu ikut salat?" tanyanya sambil tersenyum. Hanya menggoda. Dia senang punya kawan sekamar seperti Martino. Selalu mengingatkannya untuk beribadah. Dia juga sering mengantar Martino ke gereja tak jauh dari Stadion Shah Alam di setiap hari Minggu dengan mobilnya. Ditunggunya sampai selesai misa. Biasanya setelah itu mereka pergi mencari makanan enak di sebuah restoran sunda tak jauh dari Shah Alam.
Perbedaan tak membuat mereka harus berbeda.
Mendengar itu, Martino tersenyum. Dia tahu temannya itu hanya bercanda.
Setelah selesai mandi dan salat, dia ke dapur menghidupkan kompor, memasak air. Setelah itu dia membuat kopi. Dua gelas. Satu untuk dirinya, satu untuk Martino. Mereka sering begitu. Bergantian. Siapa yang sempat, dia yang mengerjakan. Tak saling menunggu. Dan semua menjadi sangat natural dalam setahun ini.
"Tadi siang Dewi ke sini mencarimu," kata Martino.
Dia hanya menoleh sejenak. Kemudian kembali asyik mengaduk kopi. Yang dimaksud adalah Dewi Utari Maheswari. Mereka sudah lama berteman sejak dari Jakarta. Bahkan sejak sama-sama kuliah S-1 di Unpad.
"Ia menunggu cukup lama. Sebelum aku pulang dari kampus, dia sudah lebih dulu sampai..." sambung Martino.
"Apa katanya?"
"Dia hanya ingin bertemu denganmu. Katanya sudah lama tak bertemu..."
"Ngarang. Baru juga tiga hari tak bertemu..."