SEBUAH city car Neo keluaran pabrikan Proton berhenti di depannya. Pengemudinya turun dan bertanya apakah dia orang yang ditelepon tadi. Sopir itu menyebut namanya. Setelah dia yakin, mereka kemudian naik ke mobil itu. Dia duduk di bangku tengah, tidak di depan, dekat si sopir.
“Nama saye Hussein Mohammad Noor. Anda bisa memanggil saya Hussein saja,” katanya membuka pembicaraan ketika mobil sudah berada dalam tol menuju Kuala Lumpur.
“Baik, Ncik…” katanya pendek.
“Ada saudara di KL?” tanyanya lagi.
“Saya ada pekerjaan di sini…” jawabnya.
Setelah itu terjadi beberapa kali pembicaraan. Dia kemudian mengatakan kepadanya ingin tidur karena lelah perjalanan dari Jakarta. Si sopir menghidupkan radio. Lagu-lagu popular Indonesia banyak diputar di radio-radio di Kuala Lumpur. Dia tak tahu persis nama radio itu. Awalnya dia mendengar lagu Isyana Sarasvati, “Tetap dalam Jiwa”. Lagu yang sangat populer di Jakarta. Namun setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi.
Dia terbangun ketika Ncik Hussein mangatakan sudah sampai tujuan. “Abang tidurnya nyenyak betol…” katanya sambil tersenyum.
“Semalam saya kurang tidur, ada kerjaan yang harus diselesaikan sebelum saya ke sini,” jawabnya.
Ncik Hussein turun dan membuka bagasi belakang. Dia yang mengeluarkan dan menurunkan kopernya. Setelah membayar beberapa ringgit, dia masuk ke sebuah hotel yang sudah dipesan dari Jakarta. Sebuah hotel murah untuk ukuran di Bukit Bintang ini. Di pusat kota yang tak pernah tidur ini, berjejer hotel-hotel berbagai tipe, dari melati sampai bintang lima. Semua ada di sini. Dari rumah makan India/Pakistan kaki lima hingga restoran mahal ada. Mal dan gedung-gedung tinggi juga terlihat di sana-sini.
Tak jauh dari sini, di sebelah, ada pusat kuliner. Di Jl Alor, makanan apapun yang kita cari ada. Tinggal menyeberang lewat Jl Thong Sin. Dari masakan ala Thailand, Jepang, Korea, dan yang lainnya, berjejer di kanan-kiri jalan. Jika punya uang, kau tak akan kelaparan di sini. Semua bisa dibeli, tinggal memilih.
Setelah mengurus ceck in, dia masuk ke kamar di lantai lima. Dia istirahat sejenak. Merebahkan punggung sebentar. Setelah itu dia mempersiapkan berkas. Besok pagi dia harus melapor ke Kedutaan Besar Indonesia di Jl Tun Razak. Seorang temannya di sana mengatakan semua yang dia butuhkan untuk urasan di sini sudah dipersiapkannya. Dulu dia sering bertemu dengan pegawai itu di Kedutaan Besar. Segala urusannya, temannya itu yang menyelesaikan. Maklumlah, mereka masih terikat primordial. Sama-sama orang Jawa. Merasa menjadi saudara ketika berada di tanah rantau.
Setelah itu dia turun dan mencari makan. Cukup berjalan kaki tak sampai 200 meter ke arah Sungai Wang. Sebelum sampai ke mal itu, ada rumah makan Pakistan yang sangat ramai. Di pojok, berseberangan dengan Sungai Wang. Dia memesan mie goreng Maggie dan teh tarik dingin. Setelah itu dia duduk di pinggir jalan, di depan Stasiun Monorail Bukit Bintang. Sebuah kelompok musik jalanan sedang menyanyikan sebuah lagu lama, “Sejati”. Itu lagu hits milik band Malaysia, Wings. Lagu ini sangat populer dan digemari banyak orang di Indonesia.
Di sepanjang jalan ini banyak seniman. Pemusik jalanan banyak “konser” di tempat-tempat yang strategis. Mereka bisa bernyanyi lagu apa saja. Dari lagu Barat, rock-Melayu, hingga lagu-lagu milik musisi Indonesia. Para seniman lukis juga terlihat melakukan aktivitasnya. Mereka bisa menggambar wajah, pemandangan, atau skadar siluet.
Orang-orang dari berbagai etnis dan warna kulit lalu-lalang di sini. Mereka sepertinya datang ke sini sengaja ingin menikmati malam panjang di Bukit Bintang. Mereka ada yang berpasangan, juga ada yang sendirian seperti dirinya. (bersambung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H